Berhutang pada dasarnya adalah sesuatu hal yang sudah sangat lazim dalam pergaulan dengan sesama manusia, karena berbagai macam motif seseorang akhirnya memutuskan untuk berhutang, ada yang karena sedang tidak memegang uang secara tunai, namun kondisi menuntut untuk segera selesai urusan, meskipun seseorang tersebut pada hakikatnya mempunyai tabungan yang cukup atau lebih dari cukup. Motif yang lain mungkin karena memang kondisi ekonomi yang sulit. Ada juga motif untuk memenuhi nafsu, gaya hidup dan pengen terlihat seperti orang kelas atas. Dan berbagai macam motif-motif lainnya kenapa orang memutuskan untuk berhutang.

Menurut hemat saya, sekarang adalah zamannya berhutang. Semakin banyak lembaga-lembaga keuangan dari yang kredibel sampai dengan yang tidak mempunyai aspek legal, mereka berlomba memberikan penawaran kemudahan kepada nasabah untuk berhutang. Contoh riil adalah saya sendiri, ya saya pemegang credit card (CC), membuat CC karena kadang pembayaran internasional menggunakan sistem itu dan terkadang saya membutuhkan barang-barang yang tidak dijual di dalam negeri. Jumlah pagu CC yang saya pegang dari masa ke masa nilainya semakin tinggi, bisa mencapai 30an juta, tanpa saya minta dan tanpa persetujuan dari saya sendiri selaku nasabah CC. Nah, karena nilai pagu yang sedemikian tinggi, pihak CC berkali-kali menelpon, merayu untuk mengalihkan pagu tersebut menjadi tabungan yang bisa langsung dicairkan dalam tempo yang sangat cepat, dan pengembalian pencairan dana tersebut nanti bisa dilakukan dengan skema mencicil alias kredit, persis sama dengan judul kartunya. Gila!

Itu cerita dari lembaga keuangan yang kredibel. Kalau lembaga keuangan kredibel saja perilakunya seperti itu bagaimana dengan lembaga keuangan yang tidak kredibel, sepertinya bakalan lebih mudah lagi proses dalam berhutang.

Fenomena jor-jorannya lembaga-lembaga keuangan dalam memberi kemudahan berhutang ternyata kalau saya pikir juga inline dengan semakin berbondong-bondongnya orang untuk berhutang. Membeli barang memilih menggunakan CC meskipun memegang uang cash, beli makan pakai kredit, beli bantal kredit, beli kasur kredit, beli sepeda kredit, beli motor kredit, beli mobil kredit, beli rumah kredit. Kredit berarti Anda membayar sesuatu dengan skema angsuran, yang berarti Anda berhutang!

Anda boleh membantah tulisan saya tentang fenomena berhutang akhir-akhir ini, itu hak Anda. Yang jelas itu sesuatu yang diluar batas nalar manusia normal. Bagaimana tidak? Hutang itu adalah kungkungan dan jeratan, semakin seseorang banyak hutang semakin banyak pula kungkungan dan jeratan dalam hidupnya. Apakah itu bagus? Tentu saja tidak.

Namun, sepertinya semakin kesini semakin banyak orang yang tidak lagi malu dengan hutang-hutangnya, bahkan bangga dan membangga-banggakannya. Misal, seseorang sedang punya usaha, alhamdulillah dikasih Allah lumayan kelancaran dalam usahanya, dengan alasan untuk segera membesarkan dalam waktu singkat maka diambil jalan berhutang ke bank, misal mendapatkan pinjaman hutang ratusan bahkan milyaran rupiah, dengan bangganya menceritakan pencapaian keberhasilan berhutang tersebut kepada banyak orang.

Hutang adalah hutang, penjara kehidupan. Ini prinsip yang mesti kita genggam erat terlebih dahulu. Hutang adalah aib. Apapun alasannya aib adalah aib. Hukum dasar yang tidak akan pernah hilang. Saat anda menceritakan kemampuan hutang Anda, berarti itu sama saja Anda menceritakan aib Anda sendiri.

Kawan, yuk kita tengok kisah-kisah orang-orang tua kita dahulu, atau kisah-kisah dari orang-orang shaleh terdahulu, bagaimana mereka memandang hutang.

Ada kisah dari sayyidina Umar bin Khattab, khalifah kedua sepeninggal Rasulullah, pada suatu masa, puteranya pulang kerumah dengan kesedihan dan tangisan, karena mendapat ejekan dan cibiran dari teman-temannya karena pakaiannya yang penuh dengan tambalan disana-sini. Melihat sang putera tercinta sedih dan menangis, Umar pun iba dengan keadaannya, namun pada waktu itu gaji sang khalifah sudah habis untuk kebutuhan sehari-hari. Ya, manusiawi, Umar berinisiatif untuk meminjam beberapa dirham dari baitul maal dengan skema pemotongan gaji untuk periode berikutnya. Namun, sesampainya di baitul maal dan bertemu dengan penjaga baitul maal, Umar mengurungkan niatnya untuk berhutang karena mendapat omongan dari sang penjaga baitul maal. Apa sebab? Sebabnya yang mungkin bagi orang zaman sekarang adalah omongan remeh dan tidak ada gunanya.

“Wahai Umar, jika kau yakin meminjam dirham ini apakah engkau yakin besok engkau masih hidup untuk melunasi hutang ini? Jika engkau bersungguh-sungguh, maka tidak ada masalah bagiku untuk mengambilkan beberapa dirham untukmu, tidak ada masalah…”

Hanya dengan kalimat sangat sederhana, Umar mengurungkan niatnya untuk berhutang, karena jelas beliau tidak tahu apakah besok masih hidup atau tidak untuk melunasi hutang tersebut. Disinilah letak kehati-hatian seseorang terhadap hutang, kehati-hatian yang akhirnya menjadikannya berada pada derajat yang sungguh teramat tinggi. Derajat yang bukan dipandang dari kemewahan fisik, namun derajat kemuliaan hidup karena sikap sangat hati-hati terhadap hutang.

Sikap Umar yang begitu hati-hati terhadap hutang sudah pasti terilhami dari Rasulullah Muhammad, semua kita sudah pernah mendengar kisah kehidupan beliau yang sering kali berpuasa karena tidak ada bahan makanan untuk diolah menjadi makanan. Beliau tidak memilih untuk meminta-minta kepada para sahabat, para tetangga untuk diberi bantuan, tidak, beliau memilih untuk berpuasa. Meminta bantuan saja bagi Rasulullah adalah sebuah aib, apalagi berhutang? Saking takut dan hati-hatinya, Rasulullah Muhammad selalu berdoa setiap pagi dan petang untuk dihindarkan dari hutang. Setiap pagi dan petang? Iya, Rasulullah membaca doa itu setiap pagi dan petang, setiap hari.

Allahumma inni a’udzu bika minal Hammi wal hazan, wa a’udzu bika minal ‘ajzi wal kasal, wa a’udzu bika minal jubni wal bukhl, wa a’udzu bika min ghalabatid dain wa qahrir rijal.

Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari bingung dan sedih. Aku berlindung kepada Engkau dari lemah dan malas. Aku berlindung kepada Engkau dari pengecut dan kikir. Dan aku berlindung kepada Engkau dari lilitan hutang dan kesewenang-wenangan manusia.”

Kalau Rasulullah yang dimana beliau adalah manusia pilihan Allah saja sangat takut terhadap hutang, lantas siapa kita yang dengan congkak lagi angkuh menganggap enteng masalah hutang, membangga-banggakannya bahkan mungkin menjadi lifestyle. Ingat, kita bukan siapa-siapa. Jika Anda ingin punya hidup yang mulia, berhati-hatilah terhadap hutang, jika Anda ingin bahagia dan sungguh-sungguh menikmati hidup jangan dekat-dekat dengan hutang. Sebab hutang adalah belenggu, penjara yang siap membinasakan serta mengakhiri hidup Anda dengan cara yang mungkin sungguh jauh dari kata mulia.

Jadi, jika ada seseorang bertanya kepada kita dengan pertanyaan, Berhutang, siapa takut? Jawablah dengan keyakinan penuh, bahwa Anda takut berhutang, tidak usah malu apalagi ragu. Jawaban itu yang insyaAllah akan membuat hidup anda lebih tenang dan bahagia dalam menjalahi hidup.