Simplicity adalah bahasa asli dari bahasa inggris yang jika dialihbahasakan ke dalam bahasa indonesia lebih mendekati arti kata kesederhanaan. Kesederhanaan adalah hal dasar dari setiap elemen dalam kehidupan ini, elemen sederhana satu demi satu saling menyatu yang akhirnya membentuk sebuah satu kesatuan yang tidak bisa dikatakan sederhana, akan tetapi mereka sejatinya terbentuk dari hal-hal yang paling sederhana. Seperti alam semesta ini, dia adalah struktur teramat sangat kompleks yang sepertinya menjadi hal yang mustahil bagi manusia untuk menemukan semua jawaban terperinci dari setiap misteri yang ada padanya. Mari kita coba melihat, mereka sebenarnya mengajarkan kepada manusia untuk memahami sesuatu yang disebut dengan kesederhanaan. Untuk menjadi luar biasa, setiap elemen tak perlu merubah dirinya menjadi sesuatu yang lain, cukup menjadi diri sendiri, apa adanya dan tulus untuk berkontribusi, dan lihatlah hasilnya. Alam semesta ini, luar biasa bukan?

Ada satu susunan kata-kata yang dipajang dalam sebuah bingkai, kata-kata yang sungguh sederhana, mulai dari diksi, sampai dengan susunan kata yang akhirnya membentuk satu kalimat yang terlihat kompak. “Sing sopo eling nyang awake dhewe, kenal karo jati dirine, mesthi bakal kenal nyang Pangerane”.

Kalimat itu dalam bahasa Indonesia kurang lebih akan menjadi seperti ini, “Barang siapa yang ingat dengan diri sendiri, mengenal jati diri, pasti akan kenal dengan Tuhannya”.

Kalimat itu memberi pesan bahwa untuk memahami sesuatu, entah itu sesuatu yang memang benar-benar sederhana, dibuat-buat rumit atau memang benar-benar rumit dalam artian yang sebenarnya, hanya membutuhkan kesederhanaan. Jangankan masalah hidup yang seakan terus menerus menghantui sepanjang kehidupan seorang anak manusia, bahkan untuk mengenal Tuhannya saja, manusia hanya cukup membutuhkan sesuatu yang sederhana, yaitu melihat kembali kediri sendiri, sudah kenalkah kita dengan diri sendiri?

 Dalam film “The Last Samurai”, saat Nathan Algren, seorang komandan militer Amerika yang disewa oleh pemerintah modern Jepang sebagai pelatih militer, yang menjadi tawanan tawanan kelompok konservatif Samurai. Berbulan-bulan lamanya dia hidup dalam sebuah perkampungan di area pegunungan, yang dimana awalnya dia merasa sangat aneh dengan kebiasaan orang-orang kampung Samurai tersebut yang sangat disiplin terhadap waktu, serta sangat berdedikasi terhadap tugas masing-masing. Dipagi buta mereka terbiasa untuk segera bangun, beribadah, bersiap untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Singkat cerita, karena naluri dasar dari Algren adalah seorang prajurit maka dia jelas tidak bisa jauh-jauh dari aktivitas adu fisik, dan sudah barang tentu dia mulai tertarik dengan seni bela diri dari para Samurai yang sampai saat ini masih sangat melegenda itu.

Jatuh bangun dia untuk sekedar menguasai seni bela diri Samurai, tidak pernah menang melawan para prajurit Samurai yang menjadi sparing partner baginya, bahkan dia tidak bisa mengalahkan seorang anak kecil dengan bersenjatakan Samurai kayu. Pada akhirnya seorang tuan yang menyanderanya memberi bisikan sederhana kepadanya, “Hai Algren, you to many mind, to many mind!”, to many mind? Jawab Algren…. Sejenak dia mencerna kalimat sederhana itu dan kemudian mencoba menyederhanakan apa yang ada dalam pikirannya, yang selama ini menjadi ketakutan, kekhawatiranya, mencoba untuk memusatkan seluruh energi, fokus ke satu hal, dan akhirnya dia dapat mengimbangi permainan para Samurai.

Satu lagi, mari kita coba merenung ulang, sepertinya level stress para pendahulu kita tak setinggi level stress kita disaat ini. Bahkan banyak sekali dari mereka tak terlalu mengkhawatirkan besok akan makan apa, tapi kenyataannya mereka mempunyai jumlah anak yang tidak sedikit, dan yang mengesankan adalah mereka mampu bertahan hidup, dan bahkan masih saling berbagi untuk orang-orang sekeliling mereka dalam bentuk apapun. Kita sekarang, makan untuk hari esok sudah terbayang, jangankan untuk hari esok, satu minggu atau bahkan satu bulan berikutnya mau makan apa sudah terbayang, namun… namun, kita masih saja mengkhawatirkan tentang masa depan, jangankan memikirkan sumbangsih apa yang bisa diberikan kepada orang lain, memikirkan jumlah anak yang hanya segelintir saja sudah terlihat kabur. Apa yang sebenarnya terjadi dengan hidup kita? Jawabannya adalah, cara hidup kita yang jauh dari kesederhanaan, terlalu banyak hal-hal yang bersifat asesoris yang malah menjadi prioritas hidup.

Pada dasarnya semua yang tercipta di dunia ini adalah sederhana dan berperilaku dengan kesederhanaan, termasuk kita sebagai manusia, kita cukup menjalani saja hidup ini, tidak perlu menoleh kanan dan kiri, tetap pada jalur untuk menggapai cita dan tujuan, berusaha dengan baik dan dengan cara yang benar, dan teruslah berdoa memohon dikabulkannya permohonan kepada sang penguasa hidup ini, fokuskan kepada yang sekarang ada, dan tak usah terlalu mengkhawatirkan sesuatu yang akan datang. Ada sajian yang sekarang tersedia dinikmati dan tak perlu menanyakan sesuatu yang tidak tersedia. Dan temukan rasa kebahagiaan hakiki, indahnya hidup dengan memaknai dan menghayati satu hal yang dinamai dengan kesederhanaan, simplicity, and simple of life. Terakhir laa tahzan, innallaha ma ana. Good luck for this life.