Di era sepakbola modern nampaknya sangat terlihat bagaimana suatu industri sepakbola dikelola dengan sangat rapi, dan sangat profesional. Karena industri ini amat sangat menjanjikan dari sisi ekonomi. Oleh karenanya mayoritas klub berlomba untuk menaikkan citra diri mereka, paling gampang adalah dengan jalan bagaimana caranya menjadi kampiun di berbagai ajang. Untuk menjadi kampiun tentu saja hal yang harus dibenahi adalah sisi kualitas sumber daya manusianya, yaitu pemain dan jajaran kepelatihan.
Perubahan pola manajerial industri paling kentara terlihat saat Chelsea ganti kepemilikan oleh Abramovic yang secara gila-gilaan melakukan perombakan besar pada jajaran sumber daya manusianya, mulai dari perekrutan sensasional seorang special one Jose Mourinho, sampai dengan deretan pemain kualitas wahid didaratkan ke Stamford Stadium berapapun harganya. Tren ini seolah menjadi demam bagi tim-tim lain, seperti Manchester City, Paris Saint Germain dan tim-tim lainnya yang ingin menuai kesuksesan dengan cara yang lebih instan dengan jalan membeli pemain bintang dan pelatih ‘branded’, dan yang paling gres adalah ‘booming’ eksodus pemain-pemain papan atas Eropa ke Liga China, sebut saja nama seperti Oscar, Fabio Capelo, Andre Vilas Boas, Hulk. Ya meskipun sudah menggelontorkan biaya yang sangat banyak, toh tidak semua tim bisa langsung meraup kesuksesan seperti yang diharapkan.
Berkaca dari hal itu, menurut hemat saya, era sepakbola modern mempunyai dua sisi yang saling bertolak belakang, positif dan negatif. Kabar baiknya adalah dengan kehadiran nama-nama besar ke dalam suatu liga/kompetisi tentu saja menambah antusiasme, hingar-bingar dari para fans, yang berimplikasi pada meningkatnya penjualan tiket dan jersey kostum dan pernak-perniknya. Juga akan meningkatkan level gengsi dari suatu liga, implikasinya adalah semakin banyak sponsor/investor yang menginvestasikan uangnya dalam jumlah yang sangat signifikan besar.
Kabar buruknya adalah hilangnya karakter dari para pemain. Kenapa karakter pemain seolah lenyap? Karakter lenyap bukan berarti kualitas teknik dan skill dari pemain tidak bagus lho ya, itu dua entitas yang berbeda dan tidak dapat saling bergerak sejajar. Karena era sepakbola modern sangat dituntut oleh target dari para investor yang menginvestasikan uangnya, yaitu kejayaan, sehingga mereka tidak mau tau apapun kesulitan dilapangan, yang mereka tau dan mereka mau adalah kemenangan, dan kemenangan. Implikasinya adalah pemain dituntut untuk dapat bermain disegala posisi meskipun posisi tersebut bukanlah posisi yang sesuai degan karakter dan skillnya. Alhasil, lambat laun para pemain seolah kehilangan identitas diri mereka sendiri alias kehilangan karakter.
Dahulu mayoristas tim menitikberatkan pada karakter sampai benar-benar matang karakter seorang pemain, dengan itu banyak terlahir pemain yang bisa disebut legenda, tengok class 98 Manchester United dengan David Beckhamp, Ryan Giggs, Solkjaer, Roy Keane, AC Milan dengan Andrea Pirlo, Ricardo Kaka, Filipo Inzaghi, Gattuso, Rui Costa, Juventus dengan Alex Del Pierro, Pavel Nedved, Antonio Conte, Gigi Buffon dan seterusnya seterusnya.
Sekarang? Gelandang-gelandang sepakbola modern terlihat blur saja sih, sekali lagi, secara teknik dan skill permainan mereka tetap bagus, tapi blur saja secara karakter. Semacam aura kengerian dari seorang pemain itu nyaris tidak ada. Yang paling sulit ditemukan mungkin gelandang dengan tipe pengatur permainan atau familier disebut dengan play maker, seorang yang secara teknik dribling bola istimewa, kemampuan insting mengumpan yang luar biasa, serta jiwa kepemimpinan dilapangan yang karismatik.
Yang terakhir efek dari pola sepakbola modern adalah mental pemain yang lembek, kurang punya jiwa petarung, dan sedikit-sedikit merengek jika kemauannya tidak terealisasi didalam tim, bikin makar agar seorang pelatih dipecat lah, bikin skenario transfer yang tidak kurang etis lah, dan seterusnya.
Jujur saya secara pribadi sih merindukan suasana sepakbola tahun 90 an dan di awal 2000an, dimana aura ‘keangkeran’ satu pertandingan begitu dapat dirasakan, mulai dari keangkeran nama stadion, kekuatan karakter dari para gladiator lapangan hijau, antusiasme fans. Tapi ya semuanya punya fasenya masing-masing, mungkin suatu saat nanti akan timbul kembali fase dimana tim dapat menyeimbangkan sisi karakter dan kualitas dan industri sepakbola yang super duper komersil.