Kalau orang awam, baik orang yang bukan muslim maupun telah menyandang status seorang muslim sekalipun, mungkin akan punya gambaran secara tentang Islam yang hampir sama, yaitu Islam itu lekat dengan kekumuhan, kemiskinan, kesemrawutan, keegoisan dan kekerasan. Padahal jika ditilik ke dua sumber hukum utama Islam yaitu Al Quran dan Al Hadist, steriotipe tersebut justru bertolak belakang. Terdapat ambiguitas yang sungguh kentara, kok bisa kelompok umat yang diberi privileges istimewa oleh Allah mulai dari Nabi paling akhir dan paling istimewa kedudukannya disisi Allah, kitab yang super istimewa dan sudah pasti dijamin keotentikannya sampai akhir zaman, orang-orang besar dan mulia yang dapat menjadi rujukan dalam keseharian kita. Tapi, mengapa realitanya sekarang malah terbalik? Dimana letak kesalahannya?

Mencari kesalahan? Mari, tak usah jauh-jauhlah kita mencari kesalahan, cukup merujuk ke diri kita masing-masing, jangan-jangan tanpa sadar kita sendirilah yang berandil akan kemunduran peradaban Islam. Ada beberapa indikator yang bisa dijadikan patokan maju mundurnya kemajuan Islam, yaitu:

  1. Seberapa sering dan seberapa dalam kita mengkaji Al Quran. Membaca Al Quran idealnya dilakukan oleh setiap muslim secara rutin setiap hari, namun seberapa kita sering membacanya? Membaca saja sebenarnya tidak akan cukup, karena mungkin mayoritas dari kita tak mengerti bahasa asli Al Quran yaitu bahasa arab. Oleh karena itu, untuk sedikit mengerti tentang Al Quran membutuhkan effort yang ganda, satu membacanya dalam bahasa arab, karena terdapat keberkahan disisinya, effort lainnya adalah membaca arti/terjemahan dalam bahasa yang kita mengerti. Membaca terjemahan sendiri sebenarnya juga masih belum cukup, seorang muslim idealnya lebih mendalami kandungannya dari seorang guru, disini letak trickynya, di jaman sekarang sepertinya agak susah menemukan seorang yang benar-benar mengajarkan sesuatu dengan tulus, dengan sebenar-benarnya, dan sesuai dengan ajaran Al-Quran dan Rasulullah. Anda tahu mengapa? Sekarang antar guru entah bergelar kyai/habib/syeikh/ustadz terkesan saling menjatuhkan, mereka seolah membuat bingung umat. Saya tak tahu mengapa.
  2. Seberapa rutin dan seberapa bagus kualitas sholat-sholat kita. Pasti bagi yang muslim pernah mendengar satu ayat Al Quran dalam surat Al-Ankabut: 45, “dirikanlah sholat, sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar”. Ada anomali lagi nih disini, sudah tau hukumnya, sudah sholat, rutin pula sholatnya, tapi masih saja ada yang pergi ke dukun, ke makam orang terdahulu dengan segala macam perbuatan berlebih-lebihannya, mengharapkan berkah lah dari makam. Tell me why? Kemana sholat-sholat kita setelah kita sholat? Jangan salah arti tentang ayat tersebut, karena Allah dan RasulNya tak pernah salah apalagi bohong! Allah memerintahkan kita apa, mendirikan sholat bukan? Kata mendirikan sudah sangat jelas lebih dari sekedar menjalankan atau melaksanakan sholat bukan? Jadi, mungkin dari sini, kita dapat menarik jawaban kenapa seakan terdapat anomali antara yang Allah janjikan dengan kondisi nyata di lapangan.
  3. Seberapa banyak dan seberapa dalam kita mengenal dan mempelajari orang-orang terbaik dalam Islam. Satu tokoh besar republik ini pernah berujar dengan kata-katanya yang sangat melegenda, “Jas Merah, jangan sekali-sekali melupakan sejarah!”, iya itu sangat benar, dan pasti diamini oleh setiap orang yang berakal dan mampu menggunakan akalnya dengan baik. Mungkin ada yang bertanya, “sejarah? pelajaran apa itu? G penting kali, kita hidup untuk memikirkan masa depan bukan untuk terus menengok yang dibelakang. Sekilas kalimat itu jenius ya, tapi konyol sih. Bagaimana mungkin sejarah menjadi elemen yang tidak penting bagi kehidupan? Silahkan dipikir-pikir, kita sekarang berfashion apakah tidak melihat dari sejarah cara berfashion dari orang-orang pendahulu kita? Itu contoh kecil saja. Intinya, kita punya orang-orang terbaik yang dapat kita jadikan rujukan dalam kehidupan kita, tengok saja bagaimana cara hidup Rasulullah, para istri Rasulullah, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Khalid bin Walid, dan seterusnya. Seberapa kita mengenal dan mempelajari bagaimana bereka hidup?
  4. Seberapa sering pria muslim sholat berjamaah di masjid. Ada cerita di wilayah Palestina entah benar atau hanya sekedar kelakar saja, seorang pemuda Palestina mengultimatum seorang pemuda yahudi Israel, “nanti kami muslimin akan menang dari kamu, dan kami akan mengejarmu sampai kamu kehabisan tempat untuk bersembunyi”. Mendengar ultimatum tersebut, pemuda yahudi cuma membalas dengan ringan dan seraya mengejek, “hahaha… soal itu kamipun juga sudah tahu, tapi tidak untuk sekarang, tidak mungkin yang mengejar-ngejar kami itu adalah orang-orang seperti kamu ini, lihat saja masjid-masjidmu saat sholat subuh, kosong bukan? hahahaha….”. Cerita itu, bagi saja menarik dan lumayan menohok saya secara pribadi, karena memang benar kenyataannya demikian. Sebenarnya urgensi kenapa Rasulullah mewajibkan setiap lelaki muslim untuk sholat wajib di masjid itu untuk saling menjalin komunikasi, saling mengenal, saling sharing ilmu, sehingga tercipta ukhuwah dan solidaritas yang kuat diantara muslimin. Sekarang, sedang tumbuh geliat sholat berjamaan dimasjid, itu bagus, bagus sekali, namun perlu juga direncanakan bagaimana masing-masing jamaah dapat saling kenal dan tercipta ukhuwah, tidak sebatas sholat terus balik kandang.

Jadi bagaimana sekarang? Masihkah tidak merasa kalau kita punya andil akan kemunduran peradaban Islam yang saat ini sedang berlangsung? Kalau saya sih merasa kalau saya punya andil.