Ali bin Abi Thalib ra dalam sebuah khutbahnya pernah mengatakan, “Aku peringatkan kalian akan dunia! Sungguh ia panorama hijau yang indah, penuh dengan beragam syahwat, cinta pada kenikmatan sesaat, bersolek dengan angan-angan dan berdandan dengan tipu muslihat. Kenikmatannya tidak kekal dan kesengsaraannya tidak terhindar.”

Itulah gambaran sekilas tentang dunia yang sedang kita huni. Indah tetapi menyimpan sejuta keburukan yang dapat menyeret kita ke dalam kesesatan. Tidak salah jika Lukman Al Hakim menasehati anaknya agar berhati-hati terhadap dunia. Ia berkata, “wahai anakku! Dunia itu lautan yang dalam, telah banyak manusia tenggelam di dalamnya. Kalau engkau sanggup, jadikanlah keimananmu kepada Allah sebagai bahteramu di dalamnya, hendaklah muatannya adalah amal kepada Allah Azza wa Jalla, dan layarnya adalah tawakal kepada Allah, maka semoga engkau dapat berlayar.”

Hidup kita bagaikan gerbong yang ditarik oleh kereta waktu, lengkap dengan fasilitas mewah, melintasi sebuah rel dengan kilauan hamparan panorama di sisi kanan dan kirinya. Tujuan akhir dari perjalanan ini adalah stasiun akhirat. Sebuah tempat pemberhentian terakhir yang belum pernah kita kunjungi. Karena perjalanan begitu indah, wajar jika banyak penumpang yang terbuai, terlena, dan bahkan tersesat, tidak tahu kalau sebenarnya ia telah salah jalur.

Ada banyak bentuk manusia yang ikut dalam gerbong tersebut, yang mungkin bisa kita jadikan pelajaran sebelum perjalanan terhenti dengan ajal dan kematian.

Yang Tak Sadar kalau ia sedang dihimpit dunia

Terkadang kita lupa bahwa dunia sebenarnya hanya sekedar tempat persinggahan. Ia sekedar terminal transit untuk kemudian meneruskan perjalanan. Di sini, di terminal ini kita membutuhkan bekal karena perjalanan selanjutnya begitu panjang. Taka da salahnya kita beristirahat sejenak untuk mencari bekal itu, lantas kembali meneruskan perjalanan.

Namun, saat kendaraan berhenti ada penumpang yang masih tertidut. Begitu mendengar hiruk pikuk dari luar, ia baru terjaga dari tidurnya. Begitu matanya mengintip dari balik jendela kaca, terlihat pemandangan para pedagang hilir mudik menawarkan beragam dagangan. Tanpa bertanya, segera ia melompat keluar menuju keramaian manusia, bergabung bersama mereka, mengira perjalanan telah berakhir di terminal ini.

Ada lagi penumpang yang semula hanya berniat mencari tambahan bekal, namun tiba-tiba ia terlena karena begitu mudahnya ia memperoleh banyak harta. Ia bahkan berambisi membangun istana sebagai tempat tinggalnya karena tidak tertarik lagi meneruskan perjalanannya.

Kehidupan terminal memang ramai dan mengasyikkan. Banyak orang yang menggantungkan kehidupannya dari terminal ini. Tetapi kita lupa bahwa terminal juga punya adatnya sendiri, menggilas dan menindas, memaksa dan merampas, penuh tipu dan kecurangan. Begitulah kehidupan dunia.

Banyak manusia yang dilahirkan di terminal dunia, tetapi setelah kesadarannya dibalut oleh kenikmatan semu, hilanglah keinginannya untuk mencari negeri akhirat yang penuh dengan kenikmatan abadi. Pada saat itu, ia sesungguhnya telah dihimpit oleh dunia. Dijauhkan dari akhirat. Begitu dahsyatnya himpitannya, mata kita dibuat jadi buta, pandangannya tidak dapat menembus lapisan dunia. Telingan jadi tuli, tidak dapat mendengar teriakan penumpang yang mengajak kita untuk segera kembali ke kendaraan, pergi dari terminal dunia menuju kampung akhirat.

Kita pun menjadi sangat bergantung kepada dunia karena tiba-tiba telah menjadi puncak tujuan. Dalam kondisi ini, kita ingin ada orang yang menegur dan menyapa kita dengan nasehatnya, seperti yang dialami oleh seorang lelaki renta. Ketika berjalan menyusuri tepi sebuah sungai, disana ia menjumpai seorang bocah kecil yang sedang berwudhu sambil menangis. Lelaki tua itu bertanya, “Nak, kenapa kamu menangis?” Bocah itu menjawab, “Wahai paman, ketika aku membaca Al Quran, aku temukan firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At Tahrim: 6). Timbullah ketakutanku akan dilemparkan ke dalam neraka.”

Lelaki itu menukas, “Wahai anakku, janganlah kamu takut. Kamu tidak akan dicampakkan ke dalam neraka, sebab kamu belum baligh. Kamu tidak layak dimasukkkan ke dalam neraka.” Anak itu menjawab, “Wahai paman, engkau kan berakal, Apakah engkau tidak tahu bahwa seseorang yang ingin menyalakan api ia memasukkan kayu bakar yang kecil lebih dahulul, baru kemudian ia memasukkan kayu yang lebih besar.”

Mendengar penuturan polos si bocah, menangislah dia seraya berkata, “Sesungguhnya bocah kecil ini lebih ingat kampong akhirat daripada aku.” (Al Buka’ul Mabrur).

Akhirnya si tua tersadar dari kelalaiannya yang panjang, sepanjang umur yang telah dia habiskan. Beruntung, di usianya yang senja ia “ditegur” oleh seorang bocah kecil. Beruntung pula, karena “teguran” itu telah menyadarkan dirinya untuk tidak tersesat selamanya.

Yang sadar, tapi merasa sulit keluar dari kemelut

Dunia dan akhirat bagai dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Kehidpan dunia sangat singkat. Ia mesti kita gunakan dengan baik agar dapat menikmati kehidupan akhirat yang lebih panjang. Kemewahan dunia tidak ada salahnya untuk dinikmati. Islam tidak melarang hal itu selama caranya halal dan tujuannya benar, yaitu untuk menambah ketakwaan kita kepada Allah, bukan malah mengikisnya hingga habis.

Yang salah adalah menjadikan dunia sebagai tujuan. “Janganlah kamu jadikan dunia sebagai puncak harapanmu.” Kata Ali ra menasehati putranya, Al Hasan. Nasehat ini singkat tapi padat makna, sehingga perlu untuk kita cermati.

Saat ini, mungkin dunia sedang jadi incaran kita. Segala kekuatan yang kita miliki, kita kerahkan untuk merebut dunia. Kita saling berlomba tapi bukan pada kebaikan. Berlomba mencari harta, berlomba merebut kekuasaan, berlomba meraih popularitas, berlomba meraih kemewahan, berlomba dan berlomba. Tak sedikit pun waktu yang kita sisakan untuk sejenak berhenti untuk tafakur, karena berhenti artinya kekalahan. Allah telah mengingatkan hal ini pada kita, “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kuburan. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu).” (At Takatsur: 1-3)

Kata orang bijak, “Dunia bagai air laut, makin diminum makin membuat dahaga.” Ungkapan itu mungkin tidak asing ditelinga kita, mungkin pula kita telah sadar dan memang sadar, bahwa dunia telah membuat kita dahaga terus menerus. Hidup pun akhirnya semakin gersang, semakin kering dari nuansa akhirat.

Saat ini, mungkin kita sedang dipuncak karir. Sedang menuai ketenaran. Sedang berkuasa. Sedang memangku jabatan yang sebelumnya jauh dari impian. Sedang menikmati kemenangan setelah capai berlomba. Semua itu, rasanya terlalu mahal untuk segera kita tinggalkan, Kita masih ingin berlomba agar semua bias kita dapatkan. “Bertahanlah, jangan mundur,” barangkali itulah kata-kata yang sedang dibisikkan oleh syetan ke telinga kita.

Jika kita merasakan hal seperti itu, maka cepat-cepatlah beristighfar, kembali ke jalan yang benar agar kita tidak terjerumus.

Yang sadar bahwa dirinya terhimpit, tapi tidak peduli.

Seperti apa kita ketika melakukan satu keburukan? Hanya diri kita yang bias menjawabnya. Karena masing-masing kita punya hati. Ya, hati nurani yang menurut Rasulullah dapat menjelaskan kepada kita antara kebaikan dan keburukan.

Menyadari satu kesalahan, tapi tetap melakukannya sungguh sangat berbhaya. Ia akan meninggalkan luka kemunafikan di hati. Luka ini, jika tidak diobati, akan menjalar dan mengundang datangnya penyakit baru. Allah berfirman, “Dalam hari mereka ada penyakit, lalu ditambahh Allah penyakitnya, dan bagi mereka siksa yang pedih disebabkan mereka berdusta.” (Al Baqarah: 10).

Terbiasa dengan dosa akakn mematikan kekebalan hati. Ketika hati tidak mampu berfungsi dengan baik maka dosa hanya dianggap biasa, seperti lalat yang hinggap di wajah, yang bisa diusir hanya dengan lambaian jemari. Hilanglah kepedulian. Lenyaplah rasa takut. Yang muncul adalah kesombongan menantang kebenaran. Seperti kesombongan Firaun ketika berkata, “Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat, kemudian buatkanlah untukku tanah liat, kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta.” (Al Qashash: 38).

Disisi lain, orang yang terbiasa melakukan dosa secara sadar, akalnya semakin cerdas mencari ide bagaimana melakukan tipu daya. Seolah Allah adalah manusia yang bisa ia tipu. Simaklah kebodohan satu kaum yang disebut Al Quran sebagai Ashabus Sabti. Ashabus Sabti adalah komunitas yang hidup ditepi pantai sebagai nelayan. Pada awalnya mereka sangat patuh pada ajaran Taurat yang melarang umatnya bekerja pada hari sabtu. Tetapi ikan-ikan justru banyak bermunculan pada hari sabtu. Iman mereka pun goyah melihat pemandangan itu.

Awalnya mereka hanya menyaksikan ikan-ikan itu sambil menggerutu, protes karena sementara di hari lain ikan tak muncul seperti itu. Esoknya, mereka mulai menggali parit untuk menjerat ikan-ikan yang bermunculan di hari sabtu, untuk ditangkap pada hari ahad.

Tidak puas dengan itu, sabtu berikutnya mereka keluar dan mengikat ekor ikan-ikan yang besar dan mengaitkannya di pepohonan, untuk ditangkap esok hari. Nyatanya, itu pun belum mendatangkan kepuasan. Akhirnya mereka tidak mempedulikan ajaran agamanya. Nabi Daud yang berusaha mengingatkan mereka, pun tak kuasa berbuat apa-apa. Tidak ada jalan lain, Allah memusnahkan mereka dengan terlebih dahulu dikutuk menjadi kera. Itulah balasan orang-orang yang tidak mempedulikan kejahatan yang mereka lakukan secara sadar.

Sebagai umat Muhammad SAW, mungkin kita tidak akan diazab seperti mereka. Tetapi cara kita menjauhi akhirat dengan melakukan kejahatan secara sadar, dan tidak lagi mempedulikan dosa dan ancamannya, bisa membuat Allah enggan menerima taubat kita.

Ibnul Qayyim pernah menyaksikan salah seorang kerabatnya yang sedang sekarat. Sebelum meninggal, ia ditalqin untuk mengucapkan kalimat tauhid, la ilaha ilallah. Tetapi yang keluar dari mulutnya, “Barang ini murah, barang itu bagus, yang ini begini, yang itu begitu, “ dan seterusnya hingga ia mati. Sungguh satu contoh kehidupan yang berakhir dengan dengan tragis, akibat terlalu sibuk dengan perniagaan hingga lupa dengan akhiratnya, lupa beriman kepada Allah SWT yang menciptakannya.

Yang selalu waspada menjaga dirinya agar tidak jaih dari akhirat.

Menghadapi dunia perlu kekuatan. Yaitu kekuatan maknawi yang bersumber dari keimanan yang teguh kepada Allah SWT. Tanpa itu rasanya sulit menguasai diti. Kita juga harus selalu memohon kepadaNya agar hati kita yang berada dalam genggaman-Nya, tetap istiqamah dalam ketaatan kepada-Nya dan khusyu’ mengingatNya.

Selain itu, kita juga perlu mencontoh para Khulafaur Rasyidin bagaimana mereka menaklukkan dunia meskipun kepemimpinan dan simpanan-simpanan harta berda di bawah kekuasaan mereka. Mereka selalu menasehati diri sehingga kuat dan sukses menghadapi itu. Ada dia yang sering diucapkan Umar ra, “Ya Allah jadikanlah dunia di tanganku dan jangan jadikan ia di hatiku.”

Para sahabat yang lain juga sering melakukan hal yang sama. Mengingatkan diti mereka untuk tidak terpancing dengan dunia. Lihatlah, bagaimana Abdurrahman bin Auf  yang disuguhi makanan berbuka ketika sedang puasa. Ia berkata, “Mushab bin Umair terbunuh dan dia lebih baik dariku. Dia dikafani dengan mantelnya. Jika mantelnya ditarik unruk menutupi kepalanya, maka kedua kakinya menyembul. Aku juga pernah mendengar, Hamzah terbunuh dan dia lebih baik dariku.” Kemudian dunia dihamparkan dan dilimpahkan kepada kita. Kami khawatir kesenangan-kesenangan ini disegerakan kepada kita di duunia saja.” Setelah berkata seperti itu ia pun menangis, lalu meninggalkan makanan itu dan tidak menyentuhnya.

Begitulah para salafusalih menghadapi dunia. Mereka tidak tergoda, apalagi tunduk, meskipun tawarannya begitu indah dan menwan. Ketika akan berpisah mereka pun tidak bersedih kecuali karena mereka merasa kehilangan waktu untuk beribadah, seperti ungkapan Amr bin Abdul Qais saat menjelang kematiannya, “Aku menangis bukan karena takut mari, bukan pula karena ingin hidup senang di dunia. Tetapi, kerena telah tiba pada batas, dimana aku tak dapat lagi beribadah di siang hari dan shalat tahajud di malam hari.”

Lalu, dimanakah kita di tengah-tengah salafusalih ketika berperang melawan dunia?

Sumber: Majalah Tarbawi Edisi 93 Th. 6/Rajab 1425 H/16 September 2004 M