Jika pada zaman dahulu khazanah Islam banyak dipenuhi oleh beragam karya dari para sahabat, khalifah, dan para tabi’in, maka ‘greget’ dan semangat belajar terus dikobarkan pada zaman khalifah Utsman bin ‘Affan yang menginstruksikan pembukuan al-Quran al-Karim, kemudian sayyiduna ‘Ali ibn Abi Thalib karamallahu wajhah, yang mana beliau juga menuliskan karyanya sendiri berujudul Nahju al- Balaghah yang berisi prosa.

Dilanjutkan kembali dengan menunjukkan kepada sahabatnya Abu Aswad Al-Duwali untuk menulis tentang ilmu turunan bahasa Arab seperti ilmu nahwu dan sharaf. Begitu juga dengan para sahabat-sahabat lain yang terbiasa menuliskan riwayat-riwayat hadits pada zaman itu. Sehingga karya-karya tersebut bisa sangat bermanfaat bagi dunia literasi Islam pada khususnya.

Telah hadir di tengah-tengah masyarakat Islam tentang ilmu-ilmu dari berbagai macam bidang, seperti: ushul fiqh, fiqh, sastra, sains, filsafat, tasawuf, logika, kalam, matematika, seni dan lain-lain. Yang karya-karyanya masih banyak digunakan dakam kajian-kajian baik yang ilmiah maupun non-ilmiah. Mereka lebih banyak berpikir dan menulis untuk mewujudkan suatu visi dan misi dalam menjalani kehidupan di duni yang fana. Mereka juga lebih memilih dan bertindak daripada berbicara, dengan begitu karya-arya yang mereka wariskan sangatlah berharga hingga tidak ternilai.

Hal tersebut dibuktikan dengan kitab-kitab mereka yang banyak digunakan di seluruh penjuru dunia, baik muslim ataupun non-muslim. Sebut saja Ibn Sina yang mewariskan karya di bidang kedokteran dengan judul kitabnya al-Syifa’, karya ini bahkan diakui oleh dunia. Imam al-Ghazali dengan kitab fenomenal berjudul Ihya’ Ulmuddin, kitab tersebut pun masih dipelajari di pesantren-pesantren dan majlis atau kampus Islam.

Sejalan dengan keduanya, adalah Jalaluddin Rumi yang menulis ribuan karya prosa terkumpul sebagai Matsnawi,sebuah literatur yang mengekspresikan pengalaman religiusnya sebagai seorang hamba yang mencintai syair, sehingga dalam setiap bait tulisannya terdapat perasaan rindu untuk menemukan Tuhan dalam pengembaraan yang panjang.

Untuk itu pula, lebih dari 700 tahun sejak wafatnya, karya-karya Rumi masih menjadi karya populer di dunia barat hingga kini. Hal ini disebabkan oleh pesan-pesannya yang bersifat universal untuk manusia yang hidup dalam keragaman dan perbedaan. Tidak mengherankan jika Rumi menjadi ikon sebagai Sufi yang pluralis.

Dari masa ke masa, tradisi literasi semacam itu terus diwariskan dan menjadi sebuah ciri khas bagi dunia Islam. Meskipun tidak ada label sebagai ulama, tetap saja mereka adalah ulama yang mampu membuktikan tentang kapasitasnya sebagai seorang agamawan yang ilmuwan. Proses perenungan yang panjang terhadap keagungan Allah swt dan seluruh ciptaan-Nya yang berserak di alam semesta ini menjadikan mereka ingin mengabarkan kepada kita semua sebagai kaum awam bahwa Allah menciptakan segala sesuatu untuk umat manusia dengan rahmatNya yang Maha Luas.

Namun pada kenyataannya di era keterbukaan informasi serta teknologi canggih, seakan intensitas untuk menghasilkan karya-karya pemikiran ulama semakin menurun, hal ini disertai pula dengan kemunculan para ustadz atau ustadzah yang tampil “memukau” di televisi Indonesia. Saya sesekali memperhatikan juga dan berdecak dalam hati, ternyata sosok ustadz atau ustadzah yang tampil di layar kaca mampu menarik perhatian sebagian besar masyarakat muslim Indonesia, dan ditambah lagi mereka menjadi ikon fashion dalam waktu yang bersamaan.

Ada banyak alasan mengapa masyarakat muslim Indonesia menyukai tipologi ustadz atau ustadzah yang mereka saksikan dari beberapa program televisi nasional maupun swasta, di antaranya: karena banyak guyon (Jawa: bercanda), tema yang mudah dan tidak kategori “berat”, ustadz atau ustadzah yang berpenampilan menarik, yang ustadz dengan kopiah atau peci dengan bentuk yang bervariasi ditambah dengan sorban sebagai pelengkap penampilan, yang ustadzah juga menggunakan dandanan yang berlebihan, seperti tata rias pada wajah berwarna mencolok, atau dengan pakaian dengan warna senada dari jilbab sampai aksesoris seperti jam tangan.

Fenomena di atas merupakan sebuah realita sosial yang tidak bisa ditolak eksistensinya, secara alamiah akan terus berkembang sesuai dengan pasar, dalam hal ini disebut penonton atau pemirsa, sponsor dan juga pemilik modal (CEO televisi), selama masyarakat masih menyukai dan menjadi tontonan wajib atau selama ratingprogram tersebut tetap tinggi, maka dipastikan akan selalu ada penampilan-penampilan dari ustadz atau ustadzah entertainment. Saya memahami semacam ada upaya komodifikasi dalam menyajikan tayangan-tayangan yang seperti demikian.

Artinya sebuah tausiyah yang biasa dilakukan di majlis-majlis ta’lim yang bertempat di masjid kemudian mengalami metamorfosis karena mengikuti tren, namun lebih jauh yang terlihat jelas adalah yang disampaikan berupa tema-tema yang selalu berangkat dari persoalan hukum Islam atau fiqh. Dengan begitu, masyarakat hanya akan terbiasa dengan konteks halal dan haram saja, tidak lebih dari itu.

Saya berharap agar masyarakat muslim di Indonesia juga mendapat kesempatan untuk menggali nalar, logika, dan rasionya untuk bisa berpikir sistemati, kritis dan luas untuk merespon masalah-masalah yang terjadi dengan menggunakan beberapa teori dari berbagai disiplin ilmu, sehingga akan melatih daya pikir dan daya rasa untuk melihat masalah dari kacamata yang lebih bersifat komprehensif, tidak setengah-setengah, tidak ambigu, dan yang paling jelas tidak menyebabkan kesesatan berpikir dan berpendapat. Secara tradisi, saya pribadi lebih memilih belajar dalam bentuk sorogan atau klasikal, guru atau ustadz atau kyai serta murid-murid hadir bersama dalam suatu kelas, menggunakan sebuah atau beberapa kitab sebagai marja’atau referensi atas sebuah topik yang sedang dibahas.

Lepas dari itu semua, saya mengingat memori kembali bahwa kaum alim ulama yang produktif menghasilkan karya, seperti Prof. Dr. Haji Abdul Malik Amrullah (Buya Hamka), beliau memiliki karya di bidang sastra hingga tafsir yang diberi nama Tafsir Al-Azhar, juga menuliskannya saat masih berada dalam penjara. Prof. Dr. Quraish Shihab juga sebagai seorang ahli tafsir memiliki karya bernama tafsir al-Misbah serta karya-karya buku lainnya. Dan juga para pengkaji Islam lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu. Mereka memiliki komitmen untuk mensyiarkan agama Allah, dan juga untuk mengabarkan berita gembira tentang khazanah Islam yang luas dan dalam.

Baik karya klasik maupun modern selama masih relevan dengan isu dan masalah yang berkembang di masyarakat, maka bisa menjadi referensi untuk menemukan solusi. Karya-karya keduanya menjadi masterpieceabad ke-21, yang mana hal tersebut dibilang masih cukup minim jika dibandingkan dengan kecanggihan teknologi yang dapat mempermudah terwujudnya sebuah karya. Lagi-lagi kita harus menyadari bahwa karya seorang yang alim bukan tentang teknologi canggih, tapi tentang ilham dan hidayah yang Allah berikan kepada siapapun yang Dia kehendaki, begitu juga sebuah karya tak lahir dengan proses singkat, melainkan dengan ujian dan tantangan.

Peran kedua alim dan ulama yang disebutkan diatas, justru tidak sebanding dengan peran (yang disebut) sebagai ulama masa kini. Kepandaian retorika memang penting dimiliki, namun akan lebih penting dan berguna lagi jika kepandaian tersebut disertai dengan kepandaian dan pemahaman yang luas tentang sumber ilmu pengetahuan yang lainnya. Saya belum melihat para ustadz serta ustadzah entertainment membahas sebuah kitab klasik atau modern dari macam-macam disiplin ilmu, seperti ilmu manthiq (logika), ilmu kalam (teologi), filsafat, ‘irfan, dan seterusnya.

Kitab tersebut yang kemudian digunakan untuk menjawab isu-isu sosial, ekonomi, kemanusiaan atau tentang diskriminasi terhadap perempuan. Kebanyakan dari mereka hanya membahas yang sudah menjadi tema tahunan, dan disampaikan berulang kali, sehingga daya nalar dan kritis tidak tumbuh dengan baik untuk mewujudkan manusia yang berilmu dan berakhlak mulia secara lahir dan batin.

Umpamanya, jika kita hanya belajar ilmu fiqh, maka pikiran kita dan tema diskusi yang kita senangi hanya berkutat pada diskursus dalam ilm fiqh saja. Akan terasa perbedaanya, jika kita senang belajar dari berbagai macam ilmu dan ulama. Kelakuan kita dalam berpikir akan meleleh dengan sendirinya, seiring dengan jumlah cahaya yang menerangi otak kita yang berasal dari berbagai macam sumber tadi. Kita dapat menelusuri dan membuat perbandingan tentang gaya para alim ulama dalam menorehkan ide, gagasan dan pemikirannya ke dalam tulisan-tulisan yang hidup.

Daya pikir dan nalar masyarakat muslim Indonesia seringkali terkungkung dan terjebak pada satu dogma yang disampaikan oleh figur yang diidolakan. Dan yang terjadi adalah taklid buta, sedangkan hal ini adalah dalil adanya kemunduran dalam mencapai ridho Allah ta’ala dalam mencari ilmu.

Kemudian, dengan mengikuti figur yang tidak memberikan banyak pilihan untuk memperkaya khazanah keilmuan dan upaya dialog interaktif dengan membahas aneka problematika adalah sebuah dilema yang dihadapi masyarakat muslim Indonesia khususnya karena disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya: 1) tidak memiliki akses informasi tentang ulama yang memiliki kualitas dan kapasitas keilmuan yang luas dan lengkap, 2) menutup diri untuk menambah wawasan, karena merasa yang diperoleh sudah terlampau cukup untuk dipahami sampai akhir hayat. Begitulah ciri-ciri orang yang mengalami kejumudan berpikir dan belajar.

Fenomena kecenderungan dan kegandrungan terhadap ustadz atau ustadzah yang khusus tayang untuk kebutuhan hiburan seharusnya diteliti kembali secara bijaksana, dengan menanyakan nurani yang paling dalam, adakah kita sudah merasa cukup dengan belajar melalui figur-figur tersebut yang hanya mengandalkan media sosial untuk menyampaikan dakwah Islam, serta tidak menghidupkan kembali tradisi mempelajari dan mengkaji karya-karya alim ulama klasik dan modern untuk memperkaya pengetahuan yang lebih variatif dan luas.

Oleh karena itu, membangun kesadaran akan kebutuhan untuk belajar dalam lingkungan umat muslim amatlah penting diperhatikan, tidak merasa cepat puas dengan apa yang sudah diketahui akan memberikan kita banyak kesempatan untuk memperbaiki diri, dan belajar lebih luas lagi. (wallahu a’lam bishawwaab)

Sumber: http://www.kompasiana.com/unamunir/fenomena-munculnya-para-pendakwah-instan_594360f6a07a6319157d2992