Kehendak Allah telah tetap, bahwa manusia akan diuji. Ada diantara mereka yang diuji dengan tubuh sehat dan kuat, tapi ada juga yang diuji dengan penyakit dan tubuh yang tidak sempurna. Inilah bagian dari kehendak Allah terhadap makhlukNya. Allah berfirman, “Pasti kami akan menguji kalian dengan sesuatu berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta dan jiwa, buah-buahan, dan beritakanlah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar.” (QS – Al Baqarah: 100)
Meski begitu, bagaimanakah manusia melihat ujian yang menimpa dirinya itu? Apakah ia bisa bersabar dan ridha, ataukah justru penuh kekecewaan dan selalu dirundung ketidakpuasan? Abu Yahya Shuhaib bin Sinan radhiallahu anhu mengatakan, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Menakjubkan kondisi seorang mukmin. Dan hal itu tak mungkin terjadi kecuali bagi seorang mukmin. Jika ia diberikan kebahagiaan, bersyukurlah ia. Itu adalah baik untuknya. Tapi bila dia diuji dengan kesulitan, bersabarlah dia. Dan itu juga baik untuknya.” (HR. Muslim)
Perhatikanlah bagaimana kesabaran orang yang kehilangan karunia melihat melalui matanya. Disampaikan oleh Anas bin Malik rad, hiallahu anhu, bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah swt berfirman: Jika seorang hambaKu diuji dengan kehilangan dua pandangan matanya, lalu ia bersabar, maka akan Aku ganti kedua matanya itu dengan surga.” (HR. Bukhari)
Orang yang mempunyai pikuran, bila ia mengalami ujian dalam tubuh atau fisiknya, maka ia akan tetap memuji Allah dan bersabar. Ia berusaha berinteraksi dengan kehidupan ini, dan memainkan peran di dalamnya dengan jiwa dan mentalitas keimanan yang tinggi. Ia tidak akan menyerah dengan kekurangan yang dia alami.
Danyang termasuk menyedihkan adalah, bila orang-orang cacat dan tidak sempurna itu membiarkan dirinya tanpa perhatian dan tanpa upaya untuk mengembangkan kemampuannya, sehingga mereka makin terpuruk dan merasa tidak mempunyai peran serta kontribusi dalam kehidupan ini. Padahal, banyak orang-orang cacat yang tubuhnya tidak sempurna, ternyata mereka bisa memunculkan penemuan sejarahnya sendiri. Mereka mampu memainkan peran dalam realitas yang mereka hidup di dalamnya.
Disini, saya ingin menunjukkan bukti dari apa yang saya katakan ini, agar perkataan ini tidak dianggap teori kosong belaka dan tidak ada harganya dalam sejarah dan realitas.
Lihatlah, ada seorang pemuda bernama Ahqaf bin Qais. Ia seorang cacat yang pincang kakinya. Susunan giginya sangat tidak teratur. Kepalanya kecil. Lehernya cenderung lebih panjang dari normal. Tubuhnya pendek. Mukanya buruk. Bola matanya juling. Tapi dengan sejumlah fakta penciptaan Allah terhadap dirinya, ia adalah seorang tokoh sastra yang luar biasa karyanya dan sangat besar pengaruhnya di masyarakat Arab. Al Jahiz seorang pakar bahasa, mengatakan, “kemampuan bahasa yang dimiliki Afnaf bin Qais mengungguli orang Arab maupun non Arab.” Bahkan Imam Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan, “Aku tak pernah melihat seorang yang dimuliakan dari suatu kaum, melebihi mereka memiliakan Ahnaf bin Qais. Bila Ahnaf murka terhadap sesuatu, maka akan turut murka ratusan ribu orang tanpa perlu bertanya, apa alasan kemurkaannya itu. Ia adalah seorang khatib, orator, bijak dan pandai.
Lihatlah juga Ibnu Ummu Maktum, Abdullah bin Qais Al Amiri, ibunya dipanggil Ummu Maktum dan namanya adalah Atikah binti Abdillah Al Makhsumiyah. Ia termasuk tokoh sahabat senior yang ikut hijrah dari Makkah ke Madinah Munawwarah. Abdullah bin Qais, atau biasa disebut Abdullah bin Ummi Maktum, adalah seorang buta. Tapi ia adalah seorang muadzin Rasulullah saw di samping Bilal bin Rabah, Sa’ad Al Qiraz dan Abu Mahdzurah. Rasulullah saw sangat menghormati Abdullah bin Ummi Maktum. Rasulullah saw memberikan amanah kepadanya dua kali untuk mengepalai Madinah. Abdullah bin Ummi Maktum bahkan ikut dalam peperangan. Dialah yang berkata, “Berikan kepada saya petunjuk, karena saya ini buta dan tidak mampu untuk berlari tanpa panduan. Letakkan saya di tengah-tengah dari dua pasukan.” Diriwayatkan oleh Qatadah, dari Anas bin Malik, bahwa Abdullah bin Ummi Maktum memegang panji berwarna hitam pada saat peperangan Qadisiyah. Dan prestasi Abdullah bin Ummi Maktum itu ditulis dengan bahasa sastra sangat indah oleh Musthafa Shadiq Ar Rafi’i.
Lihatlah lagi Syaikh Ahmad Yasin rahimahullah. Dia tidak bisa menggerakkan tubuhnya, kecuali kepalanya. Tapi dari atas kursinya, ia mampu memimpin intifadhah Palestina yang diberkahi. Ia menjadi tokoh ketangguhan, pengorbanan, jihan dan kemuliaan. Benarlah Rasulullah saw saat ia bersabda, “Sesungguhnya Allah swt tidak melihat pada bentuk tubuh kalian, tidak juga pada harta kalian, tapi Allah swt melihat pada hati kalian dan amal kalian.” (HR Muslim)
Syaikh Ahmad Yasin, adalah simbol pahlawan, pengorbanan dan jihad. Sejarah hidupnya penuh dnegan jihad dakwahnya serta sikap-sikap kepahlawanannya. Tentang kehidupan dakwahnya, dikomentari oleh Syaikh Kamil Baltaji rahimahullah, tokoh ulama Ghaza terkenal yang sudah renta karena usianya hampir seratur tahun. “Saya mengelilingi sudut-sudut Ghaza, jengkal demi jengkal Ghaza, saya bersama Syaikh Ahmad Yasin sebelum ia tertimpa lumpuh seluruh tubuhnya. Ia berjalan perlahan dengan tongkat dan bersandar pada tubuhku. Saya membantu menopangnya dengan tenagaku, sedang Syaikh Ahmad Yasin membantuku berjalan dengan pandangan matanya. Demikianlah dakwah bermula dan menyebar. Seorang tua yang sudah lemah, dengan seorang yang tubuhnya semakin lama semakin tidak berdaya sampai seluruh tubuh Syaikh Ahmad Yasin mengalami kelumpuhan total..
Benarlah firman Allah swt, “Di antara kaum beriman ada orang-orang yang benar terhadap apa yang mereka janjikan kepada Allah swt. Maka, di antara mereka ada yang telah menunaikan janjinya, dan di antara mereka ada yang menaati. Dan mereka sama sekali tidak mengganti (janjinya).” (QS. Al Ahzab: 23)
Masih ada sederet nama tokoh lagi. Lahatlah Aban bin Utsman, seorang bisu, menderita penyakit kulit, tapi dia termasuk dalam deretan sepuluh ulama kota Madinah yang terkenal. Ada juga MuhammadbinSirin, yang juga seorang bisu. Tapi dia adalah seorang faqih, ulama, sastrawan. Juga Mughirah bin Syu’bahAts Tsaqafi radhiallahu anhu. Seorang yang buta salah satu matanya. Tapi dia seorang yang pandai dan cerdas, yang sangat disegani di kalangan masyarakat Arab ketika itu. Mu’adz bin Jabal radhiallahu anhu, adalah seorang yang pincang berjalan, tapi Rasulullah saw memujinya dengan sabdanya, “Umatku yang paling memahami halal dan haram adalah Mu’adz bin Jabal.”
Oleh DR. Ali Al Hammadi, dimuat Majalah Tarbawi Edisi 181, 19 Juni 2008