Berdasarkan kajian ilmiah, yang menyebarkan dakwah di Pulau Jawa tidak hanya sembilan wali. Dan berkembangnya Islam di Pulau Jawa bukan hanya jasa para wali semata. Pesantren bersama ulama dan santrinya serta masjid bersama aktifisnya yang paling menentukan penyebaran Islam di Jawa. Karena terlalu berat bila beban dakwah di Jawa yang begitu masif hanya dilakukan oleh sembilan wali yang disebut Walisongo.

Dalam berdakwah, secara konseptual para wali menerapkan metode yang disebut dengan dakwah bil hikmah wa mauidzatul hasanah wa mujadalah illati hiya ahsan. Metode ini mereka pergunakan dalam menghadapi obyek dakwah terutama tokoh khusus seperti pemimpin, orang terpandang dan kaum bangsawan seperti bupati, adipati, raja-raja atau kaum cendekiawan, sebagaimana yang dilakukan Raden Rahmat kepada raja Majapahitdan Maulana Ishaq kepada raja Blambangan.

Dengan empat bekal dakwah yang fundamental, yaitu: hujjah balighah (argumen kuat), uslub hakumah (metode yang bijak), adabus samiyah (adab yang tinggi) dan siyasah samihah (siasat yang toleran), agama Islam bisa maju dan berkembangan di tengah masyarakat.

Suatu ajaran dan ideologi termasuk Islam, memperoleh pengikut atau tidak, bukan hanya tergantung pada benar dan tidaknya ajaran tetapi ditentukan juga apakah jaran tersebut berhasil didakwahkan atau tidak. Meskipun ajaran agama tersebut mengandung kebatilan tetapi cara penyebarannnya menarik, maka akan mendapatkan pengikut. Sebaliknya, walapun ajaran atau agama benar, tetapi cara dakwahnya tidak berhasil dan para juru dakwahnya malas, maka ajaran agama tersebut tidak diminati masyarakat. Maka, K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah berkata, “Allah menjamin Agama Islam, tidak mungkin terhapus dari muka bumi, tetapi Allah tidak menjamin Agama Islam tidak mungkin terhapus dari bumi Indonesia”.

Artinya bisa saja agama Islam terhapus dan menjadi agama minoritas di Indonesia, seperti yang telah terjadi di Andalusia dan Champa. Andalusia dahulu memimpin Eropa dan berjaya di Spanyol lebih dari 800 tahun dan Negeri Champa menjadi pusat penyiaran islam di Asia selama beberapa Abad, sekarang di kedua negara tersebut agama Islam menjadi minoritas, malah jumlah umat Islam di Andalusia dan Champa (Kamboja) kurang dari satu persen. Bukankah tidak menutup kemungkinan sejarah tersebut berulang di Indonesia, bila kita tidak bersungguh-sungguh dalam berdakwah?

Saat ini kita sudah dihadapkan dengan kondisi keagamaan umat Islam dan moral bangsa Indonesia yang sangat memprihatinkan, karena munculnya fenomena kemunduran yang cukup signifikan, antara lain:

  • Kemajuan intelektualitas, ekonomi, sarana hidup dan teknologi yang cukup pesat, namun perkembangan moral dan agama kurang mendapatkan perhatian, bahkan terpuruk; agama hanya sebatas pengakuan luar saja melalui KTP dan status sosial, moral hanya sebatas pujian semata.
  • Gejala masyarakat untuk mencari keseimbangan antara dunia dan akhirat, intelektualitas dengan moral tampah berat sebelah, pincang dan kehidupan materilis lebih menonjol daripada ukhrawi.
  • Norma-norma agama dan kesulisaaan kalau tidak bisa dikatakan amburadul, minimal kurang diperhatikan dalam pergaulan muda-mudi Islam. Padahal mereka adalah generasi yang akan meneruskan kepemimpinan umat dan harapan masa depan ada pada pundak mereka.
  • Orang yang menjalankan agama secara benar dan kaffah dituduh garis keras, puritan dan kolot bahkan dipandang sebagai ancaman yang harus diwaspadai, sementara kaum abangan yang kurang setia terhadap ajaran Islam dianggap memeluk Islam rahmatan lil alamin dan teguh pada kearifan lokal.
  • Penerangan keagamaan kurang mendapat porsi yang cukup terutama dari pemerintah, justru masyarakat cenderung dibiarkan untuk memilih agama, sebaliknya pikiran dan gerakan yang menghendaki untuk dapat melepaskan diri dari norma-norma agama, kesusilaan, dalam segala cara dan bentuknya sangat kuat dan progresif.
  • Kemajuan teknologi dan budaya, mendorong tercapainya kesejahteraan, namun sering kali disalahgunakan, yang bertentangan dengan ajaran agama dan norma susila, seperti munculnya tempat-tempat hiburan, maksiat dan dugem.
  • Kesenian, tradisi dan budaya tertentuu yang membawa kemungkaran dan kemaksiatan makin deras membanjirimasyarakat dan sangat mudah untuk diakses, terutama melalui dunia maya.
  • Berkembangnya paham materialisme, mengakibatkan lahirnya pemikiran dalam bidang ekonomi, politik, sosia dan moral yang mengarah kepada liberalis, kapitalis dan hedonis yang cenderung memilih gaya hidup instan.

Dengan demikin, dalam rangka mengatasi dekadensi moral dan kesenjangan nilai agama, perlu melanjutkan misi dakwah para wali terutama mereka yang berasaldari Arab yang  membawa misi Islam murni dan belum terkontaminasi oleh ajaran TBC (tahayyul, bid’ah, khurafat), dengan membangun pusat-pusat dakwah, pesantren-pesantren dan pendidikan Islam yang mampu menciptakan kader dengan integritas Islam murni sesuai dan konsekuen melaksanakanruh kalimat syahadat secara benar, ikhlas dan kaffah. Dengan modalkader yang berintegritas Islam, berwawasan luas, berakhlakmulia dan berakidah lurus; bila kader tersebut menjadi tokoh politik dan pemerintahan, maka dia akan memperjuangkan Islam dan mengutamakan kepentingan seluruh umat. Kalau menjadi penyebar Islam, akan meneruskan misi Rasulullah dalam memurnikan Islam, bukan mengajarkan ajaran yang sarat dengan kebid’ahan dan khurafat.

Sumber: Buku Fakta Baru Walisongo Hal. 116-119, penulis Ust. Zainal Abidin bin Syamsudin