Formula 1, ajang balapan mobil paling bergengsi di jagad bumi ini, selama beberapa periode selalu ada rivalitas yang sangat panas antara 2 pembalap atau antara 2 tim. Meskipun saya tak mengalami periode rivalitas Alain Prost vs Ayrton Sena, tapi saya mengalami periode rivalitas antara Michael Scumacher vs Mika Hakinan dan berujung pada rivalitas antara tim Scuderia Ferrari vs The Silver Arrows McLaren di awal tahun 2000an. Kenapa rivalitas mereka sangat panas? Karena masing-masing pembalap berada dalam satu level, baik nyali, kecerdasan, ketepatan berhitung dan kemampuan meminimalkan kesalahan. Serta mereka mempunyai mobil yang berada dilevel yang sama pula, sama-sama cepat, kuat, dan handal plus mereka sama-sama mempunyai dukungan tim terbaik.

Setelah periode mereka, saya pikir belum terulang rivalitas di F1 yang benar-benar setara sebagaimanah rivalitas Schumi vs Hakinen, setelah era mereka F1 seolah lomba yang nyaris mudah ditebak siapa yang bakal menduduki posisi apa. Karena ketidakseimbangan, ada yang mempunyai mobil terlalu baik dari yang lainnya, misalnya RedBull yang bisa memenangkan 4 musim berturut-turut melalui Sebastian Vettel, yang nyaris tanpa gangguan dari tim lainnya, setelah era RedBull gantian Mercedes mempunyai paket mobil yang terlalu jauh dari paket mobil tim lain.

Yahh, begitulah olahraga, tak terkecuali balapan, sensasi rivalitas yang membuat penontonnya ketagihan untuk selalu mengikuti seri demi seri yang digelar. Tapi rivalitas hebat akan lebih hebat lagi jika diisi oleh aktor yang hebat pula seperti Schumi vs Hakinen. Hakinen retired dari balapan di lap terakhir saat dia memimpin bapalan tapi nahas mobilnya bermasalah, Schumi tahu betapa kecewanya sang Rival, dan ujung ceritanya, sang legenda Michael Schumacher menghampiri Mika Hakkinen untuk sekedar memberi rasa respek atas ketangguhannya dalam membalap, karena seandainya Hakkinen tidak DNF (Did Not Finish) maka mustahil Michael Schumacher bakal keluar sebagai juara.