Sabtu malam (6/12) aku mendapatkan message dari sohib dan lumayan bikin aku mrenges, kurang lebih pertanyaannya seperti ini:
Mengapa perusahaan IT luar negeri lebih cepat berkembang?
Gimana pertanyaannya singkat, padat dan jelas bukan? Hehehehe, jujur saja, sebelum mendapat pertanyaan seperti itu dari orang lain, aku sendiri juga sudah bertanya-tanya tentang hal yang sama. Dan aku pikir, aku sudah mendapatkan jawabannya, dan sangat siap memberikan jawaban-jawabannya.
Berikut tanggapanku dari pertanyaan tersebut:
- Luar negeri mana dulu, kalau membandingkan kita mesti lebih spesifik, kalau yang dimaksud luar negeri itu adalah negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Jerman dll, oke kita emang mesti belajar banyak dengan mereka
- Sistem TI Indonesia terasa sangat pelan progresnya karena mayoritas organisasi/instansi khususnya instansi pemerintahan masih memposisikan Sistem TI hanya sebatas SUPPORT saja, belum memposisikan sistem TI sebagai tulang punggung bisnis mereka. Ini mengakibatkan tata kelola TI yang apa adanya, serampangan, asal jalan, tidak visioner dan tanpa arah yang jelas
- Sistem TI Indonesia hanya dijadikan sebagai bahan PROYEK saja, tanpa disertai perencanaan, arah dan tujuan yang jelas. Ini berakibat pada tidak berjalannya siklus pengembangan sistem TI itu sendiri, saat suatu proyek dinyatakan selesai, tanda tangan, serah terima barang, pembayaran, wassalam… Padahal pengembangan sistem TI tidak bisa seperti itu, siklus pengembangan mesti terus berputar, berevolusi secara konsisten dan berkelanjutan.
- Setali tiga uang, vendor-vendor penyedia jasa pengembangan TI juga berfikir jangka pendek, dan tidak mau memberikan edukasi yang benar tentang bisnis TI semestinya berlangsung. Mereka hanya mengejar proyek sebanyak-banyaknya, tanpa berfikir kualitas dan keberlangsungan sistem TI yang mereka kembangkan. Bahkan saya pernah menjumpai sendiri, ngakunya vendor jasa pembuatan website, saat aku tanya “kamu punya tim? kamu punya orang yang khusus desain?”, dia cuma menanggapi dengan senyuman! Hai bos, itu tidak cukup sangat tidak cukup, kamu tau itu? Dan benar saja, saat rapat jelas sangat terlihat maksud dari senyumannya itu, dia berperan sebagai SUPERMAN, dia yang buka rapat, dia yang presentasi, dia yang sebagai notulen, dia sebagai designer, dan dia juga sebagai programmer, woooowwww, hahahaha, hebat sekali kau nak?!
- Indonesia tidak kekurangan orang yang jago di bidang TI tapi Indonesia kekurangan orang yang bisa berfikir sekelas CEO TI.
- Terus kenapa Indonesia sangat minim dengan perusahaan-perusahaan yang benar-benar konsen di suatu produk? Kalau USA sudah punya nama-nama besar semacam IBM, DELL, Google, Yahoo, Micosoft, Apple, Oracle dan masih banyak lagi sederet naa yang benar-benar konsen di bidangnya. Penyebabnya adalah vendor-vendor TI Indonesia hanya berfikir jangka pendek, tidak mempunyai rencana bisnis yang kuat dan jelas, dan mereka terjebak dengan hal-hal yang bersifat teknis. Orang yang berposisi sebagai leader project bisa mengambil alih atau intervensi kerjaan seorang Analis, seorang Analis masih saja campur tangan di urusan teknis pengkodean, dengan mudah mengganti-ganti platform pengembangan, dan menganggap kemampuan orang yang berlabel TI itu sama, programmer dianggap bisa membuat design interface yang kece, dan seorang design interface dianggap mahir berquery ria. Kalau kamu masih berfikir dengan cara seperti itu dalam sebuah organisasi TI, kamu salah besar!
- Karena carut marutnya tata kelola TI di jajaran pemerintahan khususnya, kita juga seakan tidak mempunyai rujukan yang valid tentang suatu data, misalnya data kependudukan yang konon katanya merujuk ke Badan Pusat Statistik, tapi kenyataannya datanya juga masih jauh dari kata valid. Lalu data pertanian misalnya, meskipun aku sendiri belum lihat sendiri bagaimana data-data pertanian Indonesia diolah, tapi saya punya keyakinan teramat kuat, jika kita sebagai negara agraris tidak punya data pertanian yang bisa digunakan sebagai sumber rujukan. Begitu juga dengan data-data lainnya.
- Yang terakhir, sistem TI hanya proyek, proyek, proyek dan proyek. Proyek tahun ini gagal ya tahun depan adakan proyek sejenis, ganti label proyek, dana di gedein, ganti semua sistem yang sudah ada dengan yang baru, terus, terus, terus seperti itu. Kita hanya jalan ditempat!
Tulisan ini aku buat untuk sohibku, seorang lulusan Ilmu Kimia Universitas Islam Indonesia yang sekarang lebih tertarik dan konsen di bidang produksi Minyak Atsiri dan Pertanian, dan punya keinginan untuk menyediakan sebuah alat bantu bagi petani yang berbasis dari data-data pertanian, dan dengan idealismenya mungkin beliau merasa ada anomali, Martsiano Wija Dirgantara. Makasih sobat!
Supper Bung!
Memang harusnya para mahasiswa dibekali dengan yang sejenis ini dari awal… ayo Bung pulang kembali ke Almamater!
Iki jenenge edan no, samuanya rusak, orang-orang kampus yang dari permukaan kelihatan orang paling bener tapi juga ternyata nggak juga, aku pernah dapet pengalaman dari temen yang jadi Dosen tetap di Jogja, beliau merasa jenuh karena hampir nggak ada ruang untuk eksplorasi diri, penelitian yang kurang mengakar.
Ya, tulisanku yang itu berdasarkan pengalaman pribadi aja sih, yo nek lucu koyo dagelan, yo ayo ngguyuuuuuu, hahaahahahaha…..
ahahahhaha, penilitian ning kampus e awak e dewe ki sangat kurang lho tinimbang kampus2 lainnya walaupun slogannya research university, tapi masih sangat sedikit penelitian yang di publish dan bisa bermanfaat bagi masyarakat umum. hanya satu dua doesn saja yang mengembangkan dirinya diluar pakem dan orangnya itu2 aja. terlalu sibuk cari mahasiswa, rapat sampai nggak sempet penelitian, atau malah sibuk golek obyekan dewe2… ngapunten nggih bapak Ibu dosen…:D
Nggak hanya di kampus kita aja deh no, aku pikir beti alias beda tipis lah, intine, riset di Indonesia itu cuma riset-risetan, jadi makalah/tulisan, publish, presentasikan, kum/sertifikat keluar, ya sudah, mandek sampe situ aja. Dan yang jelas nggak ada keterkaitan dengan dunia industri, hasil riset kampus bagi industri dianggap sebagai sampah, ra menguntungkan secara bisnis. And so, banyak lulusan dari PT yang kerjanya nggak sesuai background pendidikannya, ada juga kok ada semacam fenomena, cari kerjaan susah ehhh ada lowongan sekolah S2, lanjut sekulah dulu ahhhhhh. Hahhhhh, buat apa sekolah S2 di sini lagi? Lha wong lulusan hardvard wae yang jelas2 moncer otak n wawasane, balik kesini cuma jadi tenaga administrasi tok je.
Sori2 buat temen-temen yang masih getol sekolah, intinya aku setuju banget dengan falsafah “tuntutlah ilmu setinggi langit”, tapi nek ilmu yang tinggi itu cuma sedikit yang menapak bumi and cuma bermanfaat buat diri sendiri buat apa? mending bakar aja ijazah-ijazah itu…
Wah, memang isu ini banyak faktornya. Indra sing pernah kerja ning beberapa tempat jelas dapat melihat dari sisi proyek-proyekan. Selain itu aku juga setuju bahwa orang-orang IT tidak terbiasa dg penelitian. Kasusnya yang aku cermati adalah dalam hal edu games anak2. Edu games buatan IT indonesia aku nilai kurang ‘pas’ aja buat anak-anak. Entah membosankan, grafiknya kurang bagus, atau stukturnya tidak tepat sasaran. Mungkin dibandingkan dg edu games buatan luar, masih kalah jauh. Terasa sekali, (beberapa) buatan luar (kemungkinan) dibuat dg banyak penelitian, baik dr segi jenis stimulus permainan maupun sisi psikologi anak.
Pokokke budaya cincay lah…. Aku punya testimoni dari orang Indonesia yang bekerja di perusahaan Migas di Abu Dhabi, rata-rata mereka mengeluh soal riset yang cuma riset-risetan, bahkan perusahaan sekaliber Pertamina pun (katanya) nggak mempunyai data riset yang benar-benar bisa menjadi rujukan. Itu perusahaan guede lho untuk ukuran Indonesia, gimana perusahaan-perusahaan TI di Indonesia? Yang ternyata emang lebih tertarik buat ngejar proyek proyek dan proyek, dan yang punya proyek juga ngejar perskot perskot perskot. Kloppppppp, jossss gandossss….
Salam kenal Pak Indra,
Saya Ardi dari Sragen.. hehe
tulisan yang ngena banget nih.. karena benar-benar yang terjadi di Indonesia.. 😀
klo mau ngajak kopi darat bisa ga ya Pak, buat diskusi-diskusi lebih jauh hehe
Salam kenal juga mas Ardi, Sragene pundi mas Ardi? Lha aku jarang di rumahe mas, soale kerjane jadi perantauan je mas. Kalo mau via email aja dulu mas Ardi. Matur nuwun