Bermula dari obrolan warung kopi di group aplikasi messenger, seorang teman mencoba untuk sedikit berhitung,

“Rek, kampus kita tahun ini jumlah mahasiswa barunya hampir 6 ribu orang, ya coba kita bulatkan jadi 6 ribu lah ya, terus misalnya nih sumbangan gedung per mahasiswa adalah 20 juta, maka akan ketemu angka 120 milyar.”

Seorang teman lainnya menanggapi,

“Lumayan… bisa buat bikin rumah sakit, hotel, dan lainnya. Urusan bayar pengajar utama dan staf mah urusan kecil, masih surplus banyak. Yang dikejar target mahasiswa. Status IPK cumlaude banyak dan teramat gambang didapatkan, tapi kenyataannya minim yang bisa dipertanggungjawabkan, yang artinya kualitas pendidikan menurun, sedang biaya pendidikan semakin melambung tinggi, tinggi dan semakin tinggi”.

Kurang lebih orbolannya seperti itu, dan saya hanya bisa membenarkan pernyataan dari teman kedua saya, tak perlu saya menambahkan banyak-banyak komentar, karena itulah sebenarnya yang sedang terjadi di negeri ini. Katakanlah istilahnya adalah, komersialisasi pendidikan. Sungguh teramat ironi, aneh, dan serba tidak masuk diakal sistem pendidikan negeri ini mulai dari jenjang sangat dasar sampai dengan jenjang teratas, semua tak masuk nalar dan telah terkotori oleh yang namanya uang, jualan dan komersialisasi.

Mestinya kita lebih jujur, bahwa sistem pendidikan kita memang acak adul, dari awal sampai akhir penuh dengan kesemrawutan, serta jauh dari tujuan utama pendidikan yaitu mendidik manusia menjadi orang-orang yang penuh dengan budi pekerti, berjiwa luhur, problem solver dan seterusnya. Namun hasilnya kan berkebalikan, mencetak manusia yang pintar nggak, sholeh juga nggak. Jika sudah seperti itu, berarti jelas ada yang tidak beres, lalu, dimanakah letak kesalahannya?

Kesalahan terbesar terletak pada:

  1. Kesalahan nawaitu (niat) bersekolah yang didasarkan pada keuntungan material. Nawaitu keliru dari hulu sampai hilir, dari orang tua yang diturunkan kepada anak, cucu, cicit, dan seterusnya. “Nak, belajar yang bener disekolah ya, biar nanti mendapat nilai yang bagus, bisa masuk ke sekolah/perguruan tinggi bonafid, langsung diterima kerja, nggak pakai nganggur”. Sudah ketemu poin kesalahannya dimana?
  2. Standar keberhasilan ditentukan oleh angka di atas kertas. Keberhasilan suatu sekolah diukur dari statistik jumlah peserta didik yang lulus, jika ada beberapa peserta didik yang tidak lulus sama saja menurunkan kredibilitas sekolah, indeks prestasinya bakal anjlok secara drastis. Pun demikian, keberhasilan peserta didik ditentukan oleh nilai/angka, yang memberikan akses ke setiap orang untuk memberikan vonis seorang anak masuk kategori pintar atau bodoh dengan mudahnya hanya dengan melihat angka-angka. Apakah itu adil? Its not I think, thats not fair. Karena kenyataannya seorang orang memiliki bakat dan minatnya masing-masing, sebuah anugerah bawaan, yang untuk mengeluarkan potensi tersebut, seorang anak membutuhkan sebuah ruang yang disertai dengan pembekalan wawasan-wawasan yang membuat jiwanya lebih mantap dalam menekuni suatu bidang yang memang dia suka. Dan hal ini teramat sulit untuk diukur dalam bentuk angka.
  3. Kurikulum yang terlalu berat dan luas, menitikberatkan pada ilmu duniawi dan meteri, teramat rapuh dan syarat dengan kepentingan. Jarang sekali di dunia pendidikan negeri ini menerapkan satu kurikulum yang bisa bertahan 10 tahun. Bahkan sering terjadi satu sistem kurikulum hanya bertahan kurang dari 5 tahun. Kalau sifat berubahnya berupa update serta memperbaiki kekurangan sih tidak jadi soal, yang terjadi adalah merubah semuanya, ibaratnya membuat rumah baru dengan merobohkan rumah yang ada. Pengajar bingung, peserta didiknya plonga-plongo.
  4. Muaranya kesalahannya adalah komersialisasi pendidikan. Jualan pendidikan. Semua pihak bermain dan mencoba untuk mengambil untung untuk dikonversikan menjadi sebuah nominal rupiah.

Di negeri ini tidak ada satupun elemen kehidupan yang lepas dari bisnis dan komersialisasi, pun termasuk pendidikan dan kesehatan berada didalamnya. Dua elemen dasar kemanusiaan yang semestinya dijalankan penuh dengan kemurnian dan ketulusan. Jika dua elemen dasar tersebut ternodai oleh kepentingan uang, apa lagi yang diharapkan? Nyaris tidak ada, karena hal itu hanya akan menghasilkan generasi penghasil pundi-pundi uang, penumpuk harta dan kekayaan dengan berbagai cara.

Sehingga, jika kita sekarang melihat fenomena begitu mudahnya seorang membunuh seorang lainnya, atau dengan mudahnya para pelajar/mahasiswa berbuat asusila atas nama cinta, atau mudah marahnya seseorang meskipun hanya berhadapan dengan hal yang remeh, atau semakin banyaknya seorang anak yang acuh, abai dan tidak peka dengan kondisi sekitar, dan seterusnya, itu adalah hasil dan panen dari investasi pendidikan kita selama ini. Siapapun diri kita, mari kita bercermin bagaimana kondisi wajah dunia pendidikan kita.

Meminjam istilah dari para personil band Padi, “sesuatu yang dari hati maka akan sampai ke hati”. Layaknya syair atau bait kata yang berasal dari hati, maka akan sampai ke hati dari setiap pendengar dan pembacanya. Mendidik juga seperti itu, mendidik seseorang dengan motivasi dunia dan materi adalah sebuah kesalahan teramat fatal, karena itu bukanlah esensi dari pendidikan, masalah dunia dan materi itu jaminan dari sang penguasa hidup. Menjadikan seorang anak menjadi kaya itu hal yang kecil, mudah dan remeh. Namun menjadikan seorang anak itu menjadi seorang yang berfikiran luas, bertindak bijak, berbudi pekerti yang luhur, paham dengan diri sendiri, paham betul dengan sang pencipta, peka dengan suatu kondisi dan keadaan, yang akhirnya bermuara pada karakter akhlakul karimah adalah cita-cita dan visi besar dari sebuah kata yang sering kita sebut sebagai PENDIDIKAN.

Guys, ini topik yang luas dan bakal panjang saat diobrolkan, tulisan di atas jelas prematur dan tidak cukup untukĀ  mempresentasikan secara lebih komprehensif. Lebih enak diobrolkan secara langsung sih, karena efek samping dari masalah pendidikan akan mencakup bagaimana cara kita memandang hidup ini secara keseluruhan. Ngopi bareng saja lebih asyik.