AksiĀ 411 yang kemudian disusul dengan aksi 212 memang sungguh membuat hati bergetar, siapapun itu entah pro atau kontra, hatinya pasti bergetar karenanya. Aksi dipenghujung tahun 2016 masehi itu pasti tercatat dilembaran sejarah negeri ini, negeri mayoritas muslim. Satu unjuk kekuatan yang luar biasa, seolah-olah aksi itu bakal menjadi cikal bakal kembalinya peradaban Islam yang telah lama tidur dengan sangat lelap. Selogan “hidup di bawah naungan Al-Quran”, “Al-Quran penuntun jalan hidupku”, terasa mulai kembali bergeliat, yang tentu saja selogan-selogan semacam itu adalah salah satu tanda kebangkitan Islam.

Satu tanda kebangkitan telah lahir. Satu pertanyaan yang mesti direnungkan dan mesti dijawab adalah apakah tanda itu hanya sebatas tanda untuk kepentingan sesaat untuk kemudian sirna kembali atau akankah diikuti dengan usaha untuk benar-benar kembali ke Al-Quran, membacanya setiap waktu, menghayati isinya, dan mengamalkan Al-Quran dalam keseharian?

Sepertinya jawaban atas tanda itu sampai dengan detik ini lebih cenderung ke opsi yang pertama, “untuk kepentingan sesaat untuk kemudian sirna”. Bagaimana bisa? Begini, Allah menjanjikan kemenangan muslimin yang tentu saja pengkabarannya melalui Rasulullah Muhammad, bahwa muslimin mendapatkan kemenangan jika muslimin benar-benar paham dengan kitab sucinya yaitu Al-Quran, pemahaman dan kedekatan dengan Al-Quran tentu saja akan memberi efek domino yang luar biasa pada tiap individunya. Saat seseorang paham dan dekat dengan Al-Quran, insyaAllah akan selalu ingat dengan Allah, menjaga berbagai amalan harian baik wajib maupun sunnah, karena terjaganya amalan harian, masjid bakal penuh sesak dengan kegiatan ibadah dan keilmuan. Dan karena itu siapapun yang menjaga amalan harian itu secara konsisten, mestinya terjaga sikap dan perilakunya dalam keseharian.

Sekarang, mari kita lihat keseharian sebelum dan sesudah dari aksi 411/212, adakah tanda-tanda kebangkitan muslimin itu ikut bergeliat? Sepertinya hampir sama, jumlah jamaah sholat fardhu juga nyaris sama tidak bertambah, yang mengikuti kegiatan-kegiatan keislaman juga tetap itu itu saja, yang membaca Quran juga tak sesemarak layaknya bulan Ramadhan.

Hai, DIMANA KALIAN?! Hanya sampai disitu aksi kalian? Kita sebagai muslim mestinya punya visi yang jauh kedepan, misi hidup yang jelas akan arti dan cita-cita kebangkitan Islam. Jika kita sebagai muslim tetap menjadi umat yang terombang-ambing bergantung angin berhembus, bergantung siapa yang menggerakkan tanpa didasari kekuatan fondasi yang kuat tentang Islam, mustahil kebangkitan Islam akan terwujud, minimal dalam jangka waktu yang pendek. Muslimin melalui Shalahudin Al Ayyubi membutuhkan puluhan tahun untuk kembali merebut masjid Al-Aqsa Jerrusalem Palestina, muslimin yang merebut bukanlah muslimin sembarangan, mereka adalah pasukan yang pemimpinnya adalah sebaik-baik pemimpin dan prajuritnya adalah sebaik-baik prajurit. Pun begitu dengan penaklukan imperium Romawi Timur Konstantinopel. Konstantinopel direbut oleh muslimin melalui Sultan Mehmed II atau lebih familier disebut Muhammad Al Fatih pada tahun 1453M. Membutuhkan waktu yang sangat lama, dan proses yang panjang untuk mencapai titik dimana Al Fatih adalah termasuk kelompok orang yang pemimpinnya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukannya adalah sebaik-baik pasukan.

Bagaimana dengan kita, yang masih terus terlelap tidur dengan mimpi dan angan-angan, logiskah satu kelompok yang hobi tidur, diberikan amanah untuk memegang satu peradaban dunia? Menjadi logis apabila, kita kembali ke Quran untuk selangkah demi selangkah memperbaiki cara kita hidup, sehingga tercipta satu generasi yang terus membaik, lebih baik, lebih dekat dan sangat dekat dengan Quran dan tentu saja paham tentang Islam. Saat generasi itu terbentuk, saat itulah janji Allah tentang kebangkitan Islam akan kembali nyata.

Jadilah muslim yang cerdas, jangan menjadi muslim idiot yang malas membaca dan mengkaji.