Khutbah Jumat (4/8/17) yang saya ikuti lumayan menarik dan menggugah pemikiran saya, tentang Al Quran adalah kitab hudallil muttaqin, bukan hudalil mukminin. Mari kita cermati kata-katanya, karena Al Quran bukanlah kitab sembarangan, ini kitab yang bersumber langsung dari sang penguasa alam semesta, Allah, jadi setiap kalimat tersusun kata demi kata yang sungguh detail ajaib.
Kata muttaqin adalah orang yang dengan status berkeyakinan Islam melalui pintu syahadatain, seiring waktu berjalan seorang tersebut menjadi seorang yang beriman kepada Islam, dia menjalankan syariat Islam paling tidak memenuhi standar minimum (sholat, puasa Ramadhan, zakat, haji), lalu denga usaha dan ilham dari Allah keimanan seorang tersebut bertambah kokoh dan tebal sehingga mencapai derajat taqwa, yaitu benar-benar menjadi seorang muslim (dalam bahasa Indonesia muslim berarti orang yang berserah diri kepada Allah dan RasulNya), yang ditandai dengan menjalankan syariat Allah dan RasulNya secara total tanpa tebang pilih, dan nyaris tidak tersisa lagi area abu-abu dari padanya.
Sedang kata mukminin berarti orang yang Islam dan beriman kepada Allah dan RasulNya, dia menjalankan syariat Islam dengan baik, sholat, puasa, zakat, haji, tilawah Quran, dan seterusnya, namun masih terselip rasa penolakan terhadap beberapa syariat yang bahkan itu telah jelas-jelas tertuang dalam Al-Quran. Ya dia baca quran, bahkan mungkin setiap hari, atau bahkan setiap waktu yang dia punya, tapi masih ada beberapa hal yang ditolak atau paling tidak mempertanyakan suatu hukum yang telah berketetapan pasti.
Lantas khatib melanjutkan khutbahnya yang kurang lebih adalah
“Pantas saja dunia Islam sekarang adalah dunia kocar-kacir, tak tentu arah, menjadi bangsa terhina dan tidak mempunyai kekuatan apa-apa, kenapa? Karena kita sebagai muslim terjebak dalam hal-hal ritual akan tetapi kita gagal memaknai esensi dari ibadah ritual tersebut. Kita sholat sehari semalam, berdoa di Masjidil Haram sampai bercucuran air mata kita, itu tidak akan merubah keadaan dan penderitaan saudara-saudara kita di Palestina/Iraq/Suriah/Rohingya. Yang dapat merubah keadaan adalah dengan sikap, yang berarti tindakan, tindakan yang hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kekuasaan, lantas dimanakah posisi orang-orang Islam yang mempunyai kekuasaan saat ini? Dimana kita wahai muslimin?
Sebagai muslim harusnya kita adalah kelompok manusia yang paling unggul, kelompok manusia yang memegang dan memimpin peradaban dunia, lantas kenapa kita sekarang menjadi kelompok manusia yang nyaris tanpa kekuatan? Jawabannya adalah karena kita masih menjadi muslim di level mukminin belum sampai dilevel mutaqin. Level keimanan yang masih belum sepenuhnya memasrahkan diri kepada syariat Allah dan RasulNya, level keimanan yang masih mempertanyakan keputusan Allah dan RasulNya. Jika kita ingin menyaksikan Islam ini bangkit, tidak ada jalan lain kecuali kembali ke Al-Quran, mempelajarinya secara total dan penuh dedikasi. Karena musuh kita tidak akan takut dengan doa dan linangan air mata kita, akan tetapi mereka akan ketakutan saat muslimin menemukan kembali esensi dari Islam”.
Masih panjang sebenarnya yang beliau uraikan, namun paragraf diatas setidaknya dapat mewakili dari khutbah jumat yang disampaikan oleh Khatib, semoga Allah merahmati beliau. Jujur saya pribadi terkesan dengan pemikiran beliau, ya memang seharusnya begitu menjadi seorang muslim, tidak ada jalan kecuali kembali dan berpasrah diri kepada ketetapan Allah dan RasulNya, menolong agama Allah dengan tenaga, pikiran, dan harta yang kita miliki, dan untuk menolong Agama Allah harus memiliki strategi alias tidak asal dan tsummastath’tu (sampai batas kemampuan). Karena apalah arti kita hidup jika keshalehan hanya untuk diri kita sendiri? Baik sih, tapi hidup yang memiliki nilai makna/arti yang kurang. Apa bangganya hidup di dunia ini hanya sebatas menumpang hidup, kebaikan hanya untuk diri sendiri, matipun tidak banyak legacy berarti yang membuat kita dikenang oleh orang yang masih tinggal di dunia ini? So, lets be good muslim, and dont be a stupid muslim.