Semua media massa di negeri ini menyoti aksi tawuran yang dilakukan oleh pelajar SMA di daerah Jakarta yang semakin brutal, ganas dan bengis. Kemudian seperti biasanya, orang ramai-ramai memberi komentar (ya karena kita pinter sebagai komentator :p), yang pendapatnya mungkin kurang lebih seperti di bawah ini:

  • Salah anak-anak pelajar yang suka tawuran
  • Ya itu mungkin pihak sekolah yang bertanggung jawab kenapa anak didiknya menjadi seperti itu
  • Harusnya sistem keamanannya yang mesti diperbaiki, mungkin pihak sekolah, polisi dan masyarakat sekitar bisa saling bersinergi untuk mengatasi hal ini
  • Antara orang tua, guru dan anak didik kurang terjadi komunikasi yang baik sehingga perilaku anak seperti itu
  • dll

Aneh, dari sekian komentar sangat jarang yang menyebutkan masalah MORAL. Menurut saya yang menjadi akar masalah dari semuanya terletak di moral. Secara obyektif, sekarang kita lihat bagaimana kurikulum pendidikan kita, berapa persen pelajaran-pelajaran yang berkaitan dengan moral? Pendidikan Moral 0%, Pendidikan Agama maksimal 2 jam dalam satu minggu, itu pun hanya terbatas pada pendidikan agama tekstual dan hanya menyentuh di sisi permukaannya saja.

Apakah sistem pendidikan kita saja yang buruk? Menurut saya tidak, peran orang tua/keluarga akan sangat menentukan output dari pribadi seseorang. Sekarang itu aneh, orang tua akan sangat bangga jika anaknya “berprestasi” di bagian akal yang dalam konteks ini lebih ke bidang ilmu keduniawiaan saja, pandai berhitung, pandai bahasa inggris/mandarin, pandai berorganisasi, misalnya. Apakah itu salah? Tidak, itu tidaklah salah, tetapi itu kurang seimbang karena tidak terdapat pendidikan yang sifatnya dari “dalam” yaitu rohani.

Kenapa jika pola pendidikan seperti itu menjadi masalah? Saya selalu ingat dengan kehidupan Rosululloh Muhammad SAW yang selalu menerapkan konsep seimbang, makanlah setelah lapar dan berhentilah makan sebelum kenyang, perpuasalah tapi juga berbukalah, bekerjalah tapi jangan lupa istirahat. Jawabannya adalah karena sesuatu yang tidak seimbang akan mempunyai efek yang tidak baik.

Bagaimana dengan pemerintah? Sudah jelas jika pemerintah mengambil peran yang sangat besar disini, karena merekalah yang membuat regulasi dan eksekutornya. Saya kira regulasi yang dibuat oleh para pemimpin itu aneh, terkesan mencoba-coba dan hasil coba-coba itu tidak pernah menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Ya mungkin, para pemimpin dan pembesar-pembesar kita lebih suka mengejar proyek, proyek dan proyek, perkara kualitas dan hasil “Emang Gue Pikirin”. Apa ini perbuatan yang lebih dekat dengan mafia? Anda bisa mencermati dan menyimpulkan sendiri.

Lalu, solus yang baik menurut saya adalah:

  • Ya, kembalikan saja pendidikan ke rel dasarnya, jadikan pendidikan itu sesuatu yang tidak ada campur tangan politik/kepentingan
  • Pendidikan itu jangan dikomersilkan, jika dikomersilkan hasilnya seperti sekarang, masuk sekolah/kuliah bayar mahal hasilnya kualitas kinerjanya rendah dan berorientasi kepada duit duit dan duit
  • Perbaiki kinerja guru/dosen dan kembalikan peran guru sebagai pendidik bukan hanya sebagai pengajar saja
  • Seharusnya setiap orang tua bisa lebih bijak dan cerdas dalam mendidik anak-anak, kenalkan dan ajarkan pendidikan rohani kepada anak-anak. Jika muslim ya jangan hanya dikenalkan sesuatu yang berkaitan dengan ibadah ritual saja, karena Islam tidak hanya sebatas itu saja

Catatan Akhir: “Pastikan sesuatu berjalan dengan baik dan benar, jika keduanya dijalankan dengan selaras maka insyaAlloh terdapat nilai barokah yang akan terus turun dan menaungi kita. Nilai barokah bukanlah sebuah nilai banyak/sedikit, besar/kecil, lapang/sempit, akan tetapi itu adalah sebuah nilai yang melebihi itu semua karena itu datangnya hanya dari Alloh Subhanahuwata’ala”