Dalam perjalanan hidup manusia pada setiap levelnya akan selalu ada pembahasan terkait apa yang menjadi kebanggaan diri. Sewaktu kanak-kanak, obrolan kebanggaan diri terkait dengan banyak-banyakan mainan baru, atau kehebatan ayah ibunya. Usia beranjak sedikit preferensi tentang kebanggaan diri mulai bergeser ke yang lainnya, terus dan terus waktupun membawa sebuah kondisi yang bisa dikatakan ideal bagi pejalanan seorang manusia, berkeluarga dan punya keturunan. Lantas sampai level itu tentu saja preferensi terhadap kebanggaan diri juga akan bergeser, bukan lagi soal banyak-banyakan mainan baru tentu saja, ada banyak, salah satunya adalah kebanggaan diri terhadap prestasi akademik anak-anaknya.

Disetiap obrolan kurang lebih obrolannya seperti ini, “ehhh anakku tiap ujian matematika selalu dapat nilai yang bagus, g pernah lho dia itu dapat nilai jelek…” Ehmmmm kurang lebih seperti itu lah ya, kita bisa membayangkan sendiri obrolan senada semacam itu. Intinya lebih mengarah ke kebanggaan diri terhadap prestasi akademik anak-anaknya. Lhaahh apa salahnya? Ya tidak ada salahnya, baik-baik aja dan positif kok.

Tapi saya adalah seorang yang mempunyai pemikiran relatifitas terhadap apa yang ada di dunia ini. Relatif, fana ketidakpastian adalah sederetan kata yang bisa diartikan segaris dalam hal pemaknaan kali ya. Maksudnya begini, hati-hatilah terhadap sesuatu di dunia ini dengan sifat relatifitasnya, kefanaannya, dan ketidakpastiannya, karena dunia ini tidak pernah menyajikan dan menjanjikan kepastian seperti hitung-hitungan matematis 1+1 = 2. Pun termasuk dengan makna “positif”.

Bisa jadi sesuatu yang positif pada perjalanannya atau hasil akhirnya menjadi sesuatu yang negatif, dan sebaliknya sesuatu yang dimaknai negatif ehhh malah dalam perjalanannya atau pada akhirnya malah positif. Semua tergantung bagaimana cara kita mensikapi dan mengelolanya.

Oke, balik lagi ke soal kebanggaan diri terhadap prestasi akademik anak. Saya punya pemikiran, tidak usah lah terlalu membangga-banggakan hal itu, karena itu hanya akan memberikan tekanan ke anak yang belum tentu inline dengan apa yang anak sendiri kehendaki. Jika itu terjadi, seorang anak mungkin punya bayangan yang absurd tentang dirinya sendiri, terjebak oleh status “saya anak pintar dan berprestasi di sekolah”. Jebakan ini yang menjadi nilai negatif bagi anak, kenapa? Lhaahhh apalah artinya berprestasi cuma di lingkungan sekolah, sedangkan kehidupan nyata ini tak seindah kehidupan rutinitas di sekolah?

Dan silahkan dicatat, tolong dicatat betul-betul, sehebat-hebatnya anak/seseorang sekolah berapa tahun sih? paling juga hanya sampai usia 25 tahun, sisanya akan dia habiskan untuk bekerja, bersosialisasi dengan banyak orang, berorganisasi ini itu, artinya misalnya seseorang ditakdirkan mempunyai usia 60 tahun, berarti 25 tahun untuk sekolah sedang 35 tahun itu adalah usia sebenarnya yang digunakan untuk mengarungi kerasnya kehidupan di dunia ini sebagai manusia. Sehebat-hebatnya dan selama-lamanya seseorang sekolah, nilai persentasenya tidak akan melebihi masa di selepas sekolah.

Catatan berikutnya adalah sistem pendidikan negeri ini bukanlah sistem pendidikan yang baik, bisa dibilang buruk, kurikulum berganti-ganti dengan cepatnya, muatan materi sekolah banyak sisipan-sisipan politis, pelajaran sejarah kita tidak pernah ditulis dengan kejujuran dan bahkan ditulis dengan bahasa-bahasa simbol yang menimbulkan multitafsir, tokoh yang semestinya menjadi pahlawan dibalik menjadi penjahat, yang penjahat ditulis menjadi pahlawan, dan seterusnya… Apakah Anda tahu efek dari hal itu? Kita tidak pernah mendapatkan seorang sosok yang berkualitas yang bisa menjadi acuan keteladanan bagi hidup kita. Kalau ada pertanyaan, lhaahh kan ada pelajaran tentang nabi/rasul di pendidikan agama, iya benar, tapi pertanyaan itu dengan mudah dibalikkan dengan pertanyaan “seberapa dalam sejarah nabi/rasul itu?” Paling cuma sampe dipermukaan, permukaanpun juga tak utuh.

Terakhir, masing-masing diri kita punya pemikiran, pemikiran dan kerangka berfikir berbeda-beda sesuai dengan bagaimana cara kita berkehidupan sehari-hari, pemikiran saya di atas biarlah menjadi usulan kerangka berfikir, tak usah menjadi bahan perdebatan, karena masing-masing diri kita pada akhirnya akan melabuhkan preferensi tentang kebanggaan diri ke sesuatu yang kita anggap paling sesuai dengan diri kita, kalaupun preferensi yang kita pilih yang awalnya kita nilai positif tapi pada akhirnya bernilai kurang positif ya tidak ada salahnya juga mengevaluasi itu dengan mengambil langkah yang berkebalikan.