Suatu waktu saya berkendara dengan motor kesayangan dan kebetulan mau mampir ke mini market yang berada disisi kanan jalan, traffic pada saat itu lumayan ramai, didukung dengan kelupaan nyalain lampu sign kanan serta sempat agak ragu-ragu juga untuk ambil posisi ke sisi kanan jalan, seketika itu ada satu motor yang dikendarai oleh anak-anak ABG cewek boncengan, dan langsung bersuara keras dan mengumpat “woi bego lo….!”. Dalam hati, upssss sorry dan oke saya salah dan telah membuat kalian kurang nyaman, tapi apakah mesti seperti itu?

Dilain kesempatan, saya sendiri menjadi saksi dan mungkin kalian juga pernah menjadi saksi dari keganasan sikap orang tua terhadap anak-anaknya. Terkadang masalahnya terlalu remeh dan hal yang wajar dilakukan oleh anak-anak, tapi reaksi yang dilakukan oleh orang tua bak algojo yang siap menebas leher seorang pesakitan. Misalnya, si anak dengan aktif berlarian kesana kemari seraya membuat kegaduhan dan suara bising, si ibu ato bapak bereaksi dengan suara yang sangat lantang didepan umum “dasar anak setan, dibilangin nggak bisa ya, bandel amat sih jadi anak…”. Atau kata-kata jalanan lainnya yang sungguh tak layak dari orang tua kepada anak-anak mereka sendiri.

Diruang lain yang tak kalah sering terjadi, dan malah mungkin teramat sering terjadi. Umpatan-umpatan antara suami dan istri. Disaat kondisi dengan tensi yang tinggi karena terdapat silang pendapat, ataupun dikondisi yang terbilang receh nan remeh, tak segan diantara keduanya saling memaki, megumpat, sumpah serapah. Dan yang bikin hati pedih tersayat-sayat adalah mereka kadang memperagakan adegan itu didepan umum dan juga didepan anak-anak mereka sendiri. Ohhhh…. gila, sungguh tidak waras! Apakah urat malu mereka sudah terputus atau apakah daya nalarnya sudah habis tertutup oleh emosi yang meluap-luap? Itu sungguh bukanlah sesuatu yang sehat bagi semua orang, tidak sehat bagi pelakunya sendiri, bagi orang-orang sekitar yang tanpa sengaja melihat tontonan tersebut dan tidak sehat bagi perkembangan psikologis anak-anak. Sudah jelas rembetannya bakal panjang, kehormatan kita seketika itu runtuh, menjadi bahan pergunjingan banyak orang dan yang paling parah adalah hal itu sedikit banyak akan di-copy paste oleh anak-anak kita, jika kita tak segera memperbaiki itu, hal itu kemungkinan besar akan diterapkan oleh anak-anak kita kelak saat mereka beranjak dewasa dan berumah tangga. Woowwww… gila, la haula wa quwata ila billah…

Yang menjadi pertanyaan, apakah harus seperti itu? Tak adakah reaksi yang lebih baik, lebih bermartabat dan lebih bijaksana untuk mensikapi hal-hal seperti itu?

Mari kita bayangkan, saat kita sedang tidak nyaman dengan perilaku pengendara lain dijalan, kemudian kita mengumpatnya, kemudian misalnya ternyata dia adalah seorang direktur dari perusahaan dimana tempat kita bekerja, apa reaksi kita selanjutnya? Rasa malu tentu saja akan hinggap ke diri kita dan kemudian khawatir dengan posisi kita di perusahaan tersebut jikalau sang bos akhirnya nanti tahu yang mengumpat dia di jalan adalah kita. Atau berbagai macam perasaan yang tidak mengenakkan lainnya.

Saat kita sebagai orang tua dengan beringas dan gampang mengumpat anak-anak kita, betapa malu dan rendahnya kita sebagai orang tua, saat suatu saat nanti anak yang dahulu sering kita umpat, sering kita rendahkan ternyata menjelma menjadi seorang yang punya pengaruh, punya posisi yang tinggi dan malah menjadi orang yang menjamin kehidupan kita sehari-hari.

Dear kawan, mungkin itulah mengapa Rasulullah telah memberi teladan kepada kita jauh-jauh hari sebelum kita hidup di dunia ini. Sebuah teladan yang remeh namun teramat besar pengaruhnya dalam kehidupan kita. “Bicaralah yang baik atau lebih lebih diam”, saya disini berbicara bukan untuk mensejajarkan kata mutiara lain yang mungkin terlihat sama dan senada “Diam adalah emas”, bukan, saya bukan seorang pendukung silent is gold, karena adakalanya diam menjadi sebuah bencana. Sikap diam disaat genting dan penting yang semestinya kita berbicara adalah reaksi yang tidak bertanggung jawab, yang bisa saja akan melahirkan bencana bagi diri kita sendiri ataupun orang-orang disekitar kita. Jadi yang benar adalah Rasulullah, berbicaralah yang baik atau lebih baik diam.

Ya bukan berarti menjadi orang mesti kaku dan garing, bukan seperti itu cara memaknai “bicaralah yang baik atau lebih baik diam”. Karena berbicara adalah salah satu jalur komunikasi utama manusia, sehingga berbicara adalah sebuah seni, kita mesti melatih dan mendidik diri sendiri untuk berkomunikasi dengan baik, yang menjadikan diri kita nanti pada akhirnya bisa menjadi seorang yang lebih adaptif saat berkomunikasi, saat berkomunikasi dengan anak-anak bagaimana caranya, saat berbicara dengan pasangan bagaimana caranya, saat berbicara dengan orang tua bagaimana caranya, saat berbicara dalam suatu rapat bagaimana pendekatannya, saat berbicara dengan masyarakat biasa yang jauh dari dunia pendidikan bagaimana caranya, saat bercanda dengan komunitas bagaimana caranya, dan seterusnya. Dan kenyataannya, dimasing-masing suasana membutuhkan pendekatan yang berbeda-beda, dan kita tidak bisa hanya menggunakan satu pendekatan komunikasi untuk diterapkan ke semua jenis suasana.

Pada akhirnya, menjaga lisan disetiap kesempatan berarti menjaga harga diri dan martabat diri kita sendiri baik untuk waktu sekarang, esok dan di masa yang akan datang.