Seorang teman bertanya, “kenapa diciptakan dunia, sedang Allah telah menciptakan surga yang penuh dengan kenikmatan, kenapa kita disuruh berlelah-lelah untuk hidup didunia yang penuh dengan kelelahan ini?”, seorang teman lagi memberi jawaban yang bijak dan sangat masuk akal. “Begini, jika kamu ingin bekerja disebuah perusahaan besar dan bonafid, apakah kamu bisa langsung dengan masuk dan bekerja disitu tanpa diuji oleh orang-orang yang berwenang dari perusahaan itu? Jelas tidak bukan, kamu mesti melewati serangkaian test, apakah kamu layak bekerja diperusahaan itu atau tidak. Yang berarti, perusahaan bonafid tersebut hanya untuk orang-orang terpilih saja yang telah melalui serangkaian ujian demi ujian. Sama, surga adalah sebuah tempat yang penuh dengan kenikmatan, tanpa kelelahan, tanpa kekhawatiran dan tanpa rasa takut, dan bersifat abadi. Lantas apakah sang pemilik surga itu dengan mudah menyerahkan tempat itu kepada semua orang tanpa melalui serangkaian ujian?”

Wahai saudaraku, kita ini seringkali emosional dan egois, dengan merasa diri kita ini adalah yang terhebat, tersuci, terpandai, dan angkuh. Angkuh mendewakan kemampuan berfikir kita yang sejatinya sangat terbatas, dan memang akan sangat terbatas. Kita semua sadar akan keterbatasan itu namun kadang kita mengabaikannya karena berbagai macam alasan dan motivasi.

Pengabaian yang sadar atau tanpa sadar terus kita pupuk dan akhirnya bertumbuh subur dan berakar kuat. Satu kondisi yang sangat riskan sebenarnya, karena dengan itu, bisa saja hati kita menjadi keras membatu, yang membuat cahaya hidayah Allah sulit menembus relung hati kita. Lantas, jika cahaya hidayah sudah tidak mampu menembus kerasnya benteng hati kita, mau kemana hidup ini kita arahkan? Seberapa mampu kita mengarahkan hidup kita sendiri tanpa campur tangan dari Ilahi? Saat kita dengan sombong dan congkak, “saya dapat menyelesaikan segala permasalahan dengan kekuatan saya sendiri” berarti kita telah memulai penggalian kuburan untuk kita sendiri dan hanya tinggal menunggu kapan tiba waktu kita terjerembab ke kuburan yang telah kita gali sendiri itu.

Kondisi yang hampir serupa dengan kesombongan dan keangkuhan raja diraja Firaun dengan mengucap, “ana rabbukumul a’la”, sayalah (Firaun) Tuhan yang paling tinggi. Sejarah membuktikan saat Firaun memulai mengucapkan kalimat itu, dia sejatinya telah memulai penggalian liang lahatnya sendiri, dan benar saja tak berselang lama, Firaun tenggelam dilaut merah dengan penuh kehinaan. Namanya lengkap beserta cerita hidupnya abadi ditulis dalam Al-Quran, tak hanya ditulis dalam satu dua ayat atau surat, bahkan ditulis berulang-ulang, sebuah kisah yang menjadi ibrah (pelajaran) bagi semua orang setelahnya sampai dengan hari kiamat. Sangat mengerikan.

Kita mesti sangat berhati-hati dan jangan pernah berhenti untuk senantiasa terhubung dengan sang pemilik kehidupan ini, agar diberi kelembutan hati yang dengan kelembutan hati itu pancaran hidayah Allah dengan mudah terserap dalam hati kita, sehingga hidup kita senantiasa terarah dan penuh dengan kejelasan tujuan hidup.

Hati-hati berfikir dan berhati-hatilah berucap.

Kita hidup dalam dunia modern, full of technology, dan terkadang kita merasa jumawa dengan masuk ke dalam kelas generasi teknologi, dengan mudah berucap, semua ada dalam genggaman saya, saya bisa mengontrol segala sesuatunya hanya dengan ketukan demi ketukan jari jemari. Semua hal bisa dilakukan dengan mudah melalui genggaman tangan. Mulai dari membaca, menuliskan buah pikiran, menyebarkan buah pemikiran orang lain, mencari rizki dan seterusnya.

Mari kita cermati lebih dalam dengan perbandingan. Saat dunia masih tanpa teknologi, bahan bacaan mereka hanyalah media yang tercetak, sebut saja buku. Untuk dapat membaca sebuah buku mereka mesti memutar otak, apakah dengan jalan membeli, menyewa, atau meminjam, sebuah langkah yang jelas membutuhkan effort bukan? Namun effort itu tidaklah sia-sia, karena mereka membaca sesuatu yang jelas, jelas siapa yang mengarang, jelas yang menerbitkan, jelas track recordnya, yang menjadikan apa yang dibaca dari buku itu penuh kesan, menginspirasi dan terimplementasi dalam keseharian, dan bertambahnya tingkat intelejensi, baik intelejensi akal maupun intelejensi emosional.

Hal yang berbeda dengan kondisi saat ini, kita dengan mudah membaca, semua informasi seakan kita lahap habis tak bersisa, namun anehnya banyaknya informasi yang kita lahap itu malah membuat intelejensi kita stagnan atau bahkan turun. Kenapa sebab? Karena kita hanya memilih informasi yang kita inginkan saja, informasi-informasi yang hanya mendukung dan membenarkan pemikiran kita saja. Kita tak akan pernah bahagia seraya gelisah dengan adanya informasi yang tidak mendukung apa yang menjadi pendapat kita.

Sudah menjadi hal mahfum bila suatu tindakan atau kebiasaan akan melahirkan sebuah eskalasi tindakan lainnya. Saat kita telah nyaman dengan pemikiran kita sendiri dengan berbagai macam informasi yang menjadi dasar pembenaran, kita akan menjadi lebih arogan dengan pendapat orang lain yang mungkin bertolak belakang. Disinilah eskalasi tindakan lainnya dimulai, kita menjadi seorang yang gemar mendebat orang lain, bahkan untuk memenangkan sebuah debat demi menegakkan supremasi diri, kita tak akan segan untuk menggunakan informasi-informasi yang penuh dengan kebohongan (hoax).

Dan sampai dengan tahap ini tanpa sadar kita telah terperangkap dalam sebuah situasi yang tidak bagus, situasi ketidakjujuran dan keangkuhan terhadap diri sendiri dengan balutan intelejensi imajinatif. Situasi yang tidak bagus dan deskruktif jika diterus-teruskan, dan ada baiknya segera melakukan evaluasi diri secara menyeluruh untuk bertekat kuat menghentikan ini semua. Kenapa mesti berhenti segera? Terdapat beberapa dalil yang tidak main-main berkenaan dengan hal ini, yang antara lain:

QS. Al Hujurat 6:

“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.

QS. Al Hujurat 12:

“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertaqwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang.”

Hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dalam Shahih Al Bukhari no 4523, Muslim no 2668:

“Orang yang paling dibenci oleh Allah adalah orang yang paling keras debatnya”

Setelah sedikit mengerti adanya dalil-dalil shahih di atas, semestinya kita akan semakin mantab untuk menghentikan semua hal yang ternyata tidak baik dan dilarang oleh Allah maupun RasulNya. Jika dalil diatas pun juga belum bisa memantapkan hati untuk menghentikan kebiasaan buruk kita, mungkin dibawah ini ada sebuah riwayat tentang hukuman bagi yang sembarangan menyebar berita (hoax).

Bagi kita yang suka asal dan tergesa-gesa dalam menyebarkan berita, maka hukuman di akhirat kelak telah menanti kita. Dari Samurah bin Jundub ra., bahwa Rasulullah menceritakan mimpi beliau,

“Tadi malam aku bermimpi melihat ada dua orang yang mendatangiku, lalu mereka memegang tanganku, kemudian mengajakku keluar ke tanah lapang. Kemudian kami melewati dua orang, yang satu berdiri di dekat kepala temannya dengan membawa gancu dari besi. Gancu itu dimasukkan ke dalam mulutnya, kemudian ditarik hingga robek pipinya sampai ke tengkuk. Dia tarik kembali, lalu dia masukkan lagi ke dalam mulut dan dia tarik hingga robek pipi sisi satunya. Kemudian bekas pipi robek radi kembali pulih dan dirobek lagi, dan begitu seterusnya.”

Di akhir hadits, Rasulullah mendapat penjelsan dari malaikat, apa maksud kejadian yang beliau lihat,

“Orang pertama yang kamu lihat, dia adalah seorang pendusta. Dia membuat kedustaan dan dia sebarkan ke seluruh penjuru dunia. Dia dihukum seperti itu sampai hari kiamat, kemudian Allah memperlakukan orang tersebut sesuai yang Dia kehendaki.” (HR. Ahmad no 20162)

Sehingga, marilah menjadi seorang yang dikehendaki Allah yaitu orang-orang yang iqra, selalu membaca, memahami, dan berfikir, yang dengannya kita akan menjadi orang yang selalu menebar kebaikan dan kemanfaatan dimanapun kita berada. Namun sekali lagi hidup ini adalah pilihan, tidak ada yang bisa memaksa kita, apakah kita memilih untuk terus berkubang dalam ketidakjujuran atau memilih untuk memperbaiki segala sesuatunya sesuai dengan syariat Allah dan RasulNya dan membuat pengakuan dengan setulus hati bahwa ternyata kita tak sehebat apa yang kita pikirkan. Semuanya tergantung pada diri kita masing-masing.

Wallahu a’lam bissawaf.