Banyak tokoh nasional kita berkata “Indonesia adalah bangsa yang besar”, sepertinya itu tidak salah-salah amat, kalau kita tengok sedikit kebelakang sejarah bangsa ini, memang kalimat itu tidak sepenuhnya salah, paling tidak itu telah diperkuat oleh pak BJ. Habibie dengan kata-katanya yang fenomenal, “bangsa ini tidak akan pernah maju selama bangsa ini tidak pernah menghargai dirinya sendiri”, yang kemudian dibuktikan oleh beliau dengan industri dirgantara, industri strategis yang membuat bangsa lain terbelalak, kelimpungan dan kemudian merasa penting untuk menjegal industri strategis tersebut, karena bahaya jika industri dirgantara tersebut terus berkembang, efeknya akan sangat luar biasa yang mungkin membawa Indonesia lepas landas menjadi bangsa yang benar-benar besar. Itu menjadi sangat masuk akal, karena dalam peta jalan internasional, Indonesia harus menjadi kawasan konsumen, mendorong penduduknya untuk berlaku konsumtif, sehingga sangat penting untuk tetap menjaga arah dari peta jalan tersebut pada jalur yang semestinya.

Baik, ngomong-ngomong soal bangsa yang besar, kenapa Indonesia tak bisa sejajar dengan China dalam hal perdagangan, industri teknologi dan seterusnya? Jangankan head to head dengan China, bahkan dikawasan Asia Tenggara saja bangsa ini seolah tertinggal. Kenapa?

Mungkin jawaban yang mendekati ketepatan adalah di negeri ini banyak leader yang tak mampu melihat secara makro, kemudian mengerucutkan penglihatan makro tersebut kedalam suatu konsep secara mikro implementatif, yang pada akhirnya mendorong pihak-pihak terkait untuk mau tidak mau melaksanakan konsep tersebut. Banyak orang pintar memang dinegeri ini, namun sedikit yang mampu menterjemahkan pemikiran-pemikiran teoritis dan idealisnya kedalam suatu bentuk yang mudah dimengerti oleh semua level sampai dengan level terbawah.

Mari sedikit melihat keadaan sekeliling kita, berapa ribu orang dengan gelar doktor bahkan profesor di negeri ini yang nyatanya saat mereka berkumpul dalam satu tim yang diharapkan dapat melahirkan suatu konsep yang jitu namun berubah menjadi ajang debat, ajang pamer ego dan kepintaran masing-masing. — Gelar tak penting penting amat, karena ternyata yang mengubah dunia ini bukanlah orang yang bergelar, bahkan tak pernah lulus dari bangku kuliah, tengok Steve Jobs dan Bill Gate.

Teman-teman yang bekerja didalam negeri (pegawai negeri), mengeluh yang berlebihan karena adanya pemotongan anggaran mereka, keluhannya hampir senada, yaitu pemasukan berkurang drastis, semua gara-gara presiden yang sekarang (2014-2019), uang yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur adalah uang dari anggaran “kita”. Sebentar, kata “kita” sepertinya mungkin tak dapat mewakili aspirasi, lah memang itu uang yang berasal dari kantong Anda? Itu uang negara bukan? Jika Anda, temen-temenku yang bekerja dilingkungan pemerintahan masih mengeluh dengan keadaan tersebut, mari sama-sama kita berfikir lebih jauh, dan dalam scope yang lebih luas. Berpuluh-puluh tahun negeri ini merdeka, peta jalan pembangunan seperti jalur tol antar propinsi, peta jalan pembangunan angkutan umum seperti jalur kereta bawah tanah, MRT, LRT, pemberantasan pungli, penyerataan kemakmuran dari Sabang sampai Merauke, dan seterusnya. Itu semua sudah terkonsep dan terkaji berpuluh-puluh tahun lalu, dan mayoritas berhenti dalam laporan kajian, kajian yang mungkin menjadi proyek abadi untuk setiap tahunnya. Sekarang, silahkan berfikir, bagaimana jika semua plan tersebut tereksekusi secara konsisten dari saat konsep tersebut lahir sampai dengan saat ini, ya secara nalar, kondisinya akan jauh lebih mudah bukan. Ibaratnya terdapat rencana membangun jalan 300.000 km, dikerjakan dalam 5 tahun dibanding 20 tahun tentu saja beda dari sisi finansial yang dibutuhkan. — Saat Anda bekerja dilingkungan negeri dengan mindset negeri jaman Belanda maka Anda tak akan pernah maju dan tak akan pernah mau maju, karena kemajuan itu berawal dari perubahan, ada baiknya Anda berfikir sebagai swasta atau berperan sebagai swasta di luar jam kerja negeri Anda.

Indonesia tidak akan pernah menjadi bangsa besar selama orang-orangnya tak pernah menganggap bangsa ini besar dan terus meremehkan apapun yang dikaryakan oleh bangsa sendiri, analogi ini mirip dengan tulisan sebelumnya, Orang Islam tak siap menyongsong kejayaan Islam dalam waktu sekarang, selama orang-orang Islam hanya mempelajari Al Quran dan Hadist sepotong-sepotong, sebagai sumber penghasilan/nafkah, mencari ketenaran pribadi, sebagai tameng dalam acara debat yang tak menghasilkan sebuah pemikiran dan aksi konkret terhadap suatu tantangan yang sedang tertambang.