Dalam beberapa hal, banyak dari kita yang lebih dominan berorientasi pada sesuatu yang sifatnya asesoris dan kuantitas. Terlalu banyak, bekerja dengan orientasi waktu kerja tanpa dibarengi dengan apa sebenarnya yang dikerjakan, berpura-pura bekerja saat sedang ada boss, dan seterusnya dan seterusnya, termasuk juga saat kita beragama, berIslam. Benar bahwa banyak dari kita dan termasuk saya adalah orang-orang yang menyandang atribut beragama Islam sejak lahir, ya sesuatu yang patut kita syukuri memang, tapi apakah urusan selesai selepas kita mengucap syukur atas nikmat Islam yang given sejak lahir?

Mestinya saat kita mengucap syukur, ditindaklanjuti dengan sesuatu yang bersifat analitik, kenapa saya mesti tetap beragama Islam sampai akhir hayat saya? Kenapa Allah memberi garansi keontentikan Al-Quran dan Dia sendiri yang akan menjaganya, apa bukti-buktinya? Ada apa dengan sholat, kenapa Allah mewajibkan sholat 5 waktu? Kenapa Allah menyuruh kita untuk menahan diri dengan berpuasa sebulan penuh?

Begini, kita tak akan memperdepatkan lagi bahwa Allah adalah yang maha mengetahui akan sesuatu, dan karena pengetahuan Allah tak terbatas maka saat Allah menyuruh kepada umatnya pasti ada manfaat atau esensi yang bisa kita analisis. Kenapa kita mesti capek menganalisis sebuah ajaran agama? Apakah belum cukup dengan penjelasan atau “doktrin-doktrin” yang disampaikan oleh para ulama? Iya, kita mesti sedikit capek melakukan analisa dengan pendekatan ilmiah kadang untuk membuat kita benar-benar yakin bahwa yang kita yakini adalah benar.

Maka, menurut saya, seorang muslim yang telah menjalankan kewajibannya secara reguler dan kontinyu itu bagus, tapi belum cukup jika tidak dibarengi dengan kemampuan menangkap pesan/esensi dari yang dia kerjakan. Karena bisa jadi keimanan kita akan goyah saat ada orang dengan kemampuan verbal dan logis yang lebih kuat dari kita, dan melakukan diskusi dengan kita, sebagian orang yang awalnya sangat taat beribadah lalu berbalik menjadi sesat karenanya, lihatlah, bukankah sudah banyak terjadi sekarang? Pertanyaannya adalah, kenapa itu bisa terjadi? Pertanyaan yang relatif mudah dijawab, karena seorang tersebut akar keimanannya hanya berbasis yakin pada yang telah disampaikan oleh seseorang, tanpa adanya kemauan untuk sedikit melakukan riset kecil-kecilan, saya mengistilahkannya dengan “manut sendiko dawuh“, dalam bahasa Indonesia kurang lebih menjadi “mengukuti/melaksanakan apapun tanpa bertanya lebih detail”.

Budaya manut sendiko dawuh itu tidak hanya dialami oleh muslim negeri ini, tapi mayoritas negeri yang berpenduduk muslim, terkahir kali budaya yang penuh dengan keilmuan, riset saat zaman keemasan Islam saat dipimpin oleh Rasulullah dan para sahabat, imam 4 mahzab, dan beberapa pemimpin dalam kerajaan Islam, taruhlah salah satunya Harun Al Rasyid. Silahkan baca buku-buku sejarah Islam, diperiode itu semangat mentadaburi Al-Quran sangat tinggi, dari sana lahir banyak sekali cabang ilmu, ilmu kedokteran, ilmu falak, ilmu fisika, ilmu matematika dan seterusnya. Sehingga menjadi logis jika periode itu dan dalam waktu yang relatif singkat Islam menjadi salah satu kekuatan yang sangat disegani oleh dunia, dan bahkan hampir saja menenggelamkan budaya yang sangat mapan seperti kebudayaan Romawi (bangsa-bangsa barat) sebelum gerakan Renaissance digelorakan oleh bangsa barat untuk merebut kembali “kehormatan” mereka dari Islam, meskipun dengan cara-cara yang sangat bengis, perampokan ilmu pengetahuan dalam bentuk buku dari orang-orang Islam dengan cara pembantaian. Salah satunya silahkan membaca buku sejarah tentang jejak Islam di Andalusia Spanyol. Tapi, mesti kita akui gerakan Renaissance tersebut bisa kita lihat sekarang, bagaimana bangsa barat punya kemampuan analisa yang sangat-sangat kuat, banyak melahirkan penemuan-penemuan revolusioner, dan sayangnya sekarang dunia Islam dihuni oleh orang-orang pemalas yang tak mau bersusah-susah melakukan analisa, padahal mereka memegang sumbernya.

Dalam berIslam memang ada beberapa hal yang saklek tanpa kita memainkan logika, yakin dan terima saja, misal, bagaimana bentuk Allah, kepastian adanya surga dan neraka, kisah perjalanan Isra Miraj Rasulullah, dan seterusnya, karena saat kita memainkan logika/nalar, kemampuan nalar kita tak akan pernah mempu untuk menyentuhnya, dan bisa-bisa berujung anda menjadi gila. Tapi dalam Islam masih banyak hal yang bisa diurai menjadi sebuah jawaban yang logis yang membuat keyakinan kita semakin kokoh yang tak akan pernah goyah oleh badai dalam bentuk apapun dan justru kita dapat melakukan bantahan/berargumen/counter dengan cara yang logis yang bisa membuat penyerang kita mati langkah dan bahkan bisa saja membuat mereka bertaubat kembali kepada Islam.

Hmmm, mari kita ambil sedikit contoh riset:

  1. Kenapa Rasulullah tidak bisa baca tulis? Bukankah beliau manusia yang sangat cerdas, masak hanya membaca dan menulis saja tidak bisa? Banyak kaum orientalis yang menggunakan fakta ini sebagai senjata mereka, dan bagi orang Islam yang hanya yakin akan sebuah kebenaran tapi tanpa dasar analitik maka senjata ini akan benar-benar ampuh untuk melumpuhkannya. Baik, kenapa Allah tak memberikan grant kepada Rasulullah untuk dapat membaca dan menulis? Karena untuk menjaga Al-Quran adalah sebuah kitab yang benar-benar dari Allah tanpa ada campur tangan/nafsu dari manusia yaitu Rasulullah, dan ini sebagai bukti untuk membungkam para penentang Islam, bahwa Al-Quran terjamin keotentikannya. Karena jika Rasulullah bisa membaca dan menulis maka tudingan bahwa Al-Quran dibuat oleh Rasulullah akan semakin kuat dan logis yang berimplikasi pada banyak orang yang tak percaya dengan isi dari Al-Quran, tapi sayangnya Allah mendesain dengan tanpa celah. Maha Suci Allah…
  2. Lanjut, masih terkait dengan contoh nomor 1, sebagai bukti bahwa Al-Quran bukan buatan manusia dan tak ada unsur-unsur nafsu didalamnya, silahkan membaca QS. Abasa, ayat awal berbunyi “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling. Karena telah datang seorang buta kepadanya… dst”. Surat itu turun seketika saat ada seorang sahabat bernama Abdullah bin Ummi Maktum yang buta matanya tahu-tahu nyelonong ke satu event yang saat itu dihadiri oleh para pembesar suku Quraish, dan Rasulullah sangat amat berharap akan dapat meyakinkan para pembesar Quraish tersebut dengan ajaran yang beliau bawa, saat Abdullah bin Ummi Maktum datang saat itu Rasulullah sedikit tak berkenan terhadapnya, dan seketika itu pula Allah memberi peringatan kepada Rasulullah. Bukankah itu sebuah aib atau sesuatu yang memalukan bagi Rasulullah karena ditegur Allah? Tapi kenapa Rasulullah tak menghapus saja baris-baris surat itu kalau benar jika Rasulullah adalah sang pengarang Al-Quran?
  3.  Kenapa Al-Quran diturunkan dalam bahasa arab? Tidak bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, atau bahasa Inggris? Saya sarankan sedikit membaca profil tentang bahasa Arab agar logika anda dapat mencapai jawaban logisnya. Ya karena bahasa arab adalah bahasa satu-satunya manusia yang sangat kaya, detail dan yang paling bisa mewakili maksud yang akan disampaikan oleh Allah.

Sebagai penutup dari tulisan ini, kita sebagai seorang muslim tidak kalah dalam hal militansi kita terhadap Islam, dan bahkan sering/cepat terbakar akan suatu isu khususnya isu-isu tetang Islam, itu bisa baik dan bisa pula sebaliknya, tapi cara kita berIslam masih sering hanya menyentuh permukaan dan tak menyentuh ruang esensi seumur hidup kita. Kita dengar, kerjakan, selesai. Manut sendiko dawuh, tanpa ada sedikit usaha untuk mengkaji suatu perintah. Kejayaan Islam tidak akan pernah hadir saat kita hanya berpangku tangan, menunggu kiprah orang lain, tetapi kejayaan itu hadir saat masing-masing dari kita mempunyai semangat, kemauan serta usaha untuk mengkaji Islam sampai ke ruang esensi yang sebenarnya, sehingga kita mempunyai keyakinan yang punya pegangan kuat, ibarat akar yang menghujam bumi dalam-dalam yang tak goyah oleh berbagai badai yang datang menghampiri kita.