375 km, ya kira-kira sejauh itu jarak antara Jakarta-Purwokerto. Ini perjalanan setengah gila yang pernah aku lakukan, karena alasan setengah gila itulah aku tertarik untuk mendokumentasikannya. Ini rencana awal dari perjalananku, rute sebenarnya adalah Jakarta-Banjarnegara dengan tujuan hanya ingin berkunjung dan ngobrol dengan Om-ku yang berdomisi di Banjarnegara, perjalanan dengan bus via Purwokerto (karena tiket kereta sejak 2 minggu sebelum keberangkatan tanggal 24 Mei 2014 sudah habis terjual). Biasa aja sih sebenarnya, tapi yang bikin g biasa adalah hari biasa kok macetnya kayak hari lebaran aja ya? Bheghhh sekitar jam 1 baru sampai Sukabumi, hampir aja frustasi dan mutusin turun di Cirebon untuk cari kereta Cirebon Express balik ke Jakarta. Jam 1 baru nyampai sini, lhah terus sampe purwokerto jam berapa??? Alamakkkkk……..

Yah aku ikhlasin aja, sesampainya, ya bener sampai Purwokerto jam 20.30, wahhh ini muncul tantangan berikutnya, transportasi Purwokerto-Banjarnegara masih ada g ya jam segini? Inget masih punya temen kuliah yang berdomisili di Purwokerto, aku kontaklah dia, dan sebenernya dia juga g tahu, tapi kira-kira jawabannya kayak gini “sejujurnya aku g ngerti Ndro, tapi kayaknya masih ada yang jurusan semarangan…”. Wohhh yes, bener! Ternyata masih ada bus yang mengarah ke Banjarnegara. Singkat cerita sampai rumah si Om jam 00.15!

Yahh memanfaatkan waktu, jauh-jauh sampe sana masak g jadi ngobrol-ngobrolnya, g bisa dong. Ngobrol-ngobrol lah kita sambi nonton Bola sampai pagi. Habis subuhan nyempetin tidur sebentar, jam 7 udah ciao lagi ke Purwokerto, kali ini aku dapet tiket kereta, ogah banget ikut bus lagi! Sekitar jam 09.40 an kereta dari Jogja sampe. Naik ke kereta dengan satu cita-cita, tidur secepet-cepetnya.

Yahhh kadang cita-cita hanya tinggal harapan, dan kali ini terjadi padaku, sebangku sama ibu-ibu yang berdasarkan investigasiku beliau berasal dari Jogja, Jl Kaliurang. Awalnya ngobrol basa-basilah, asal dari mana, kerja dimana, sudah berapa tahun di jakarta & bla bla bla… G tahu kenapa ibu ini terus menceritakan pengalaman hidupnya ke aku, menarik karena beliau adalah seorang pengusaha kayu yang pernah berhubungan dengan aktivitas ilegal logging, jual beli kayu antik, oknum-oknum pemerintahan yang ternyata sangat berperan dalam aktivitas ilegal logging itu, klien-kliennya yang asalnya dari luar negeri yang rela membayar berapapun asal mendapatkan barang pesenan mereka, sampai dengan hubungannya dengan para pejabat tersohor negeri ini. (Note: jelas aku g ngerti kebenarannya, istilahnya beliau bohong juga aku g bakalan ngerti)

Yang menarik saat beliau ngomong, “mas, pokoknya aku g pengen anak cucuku menjadi pengusaha kayak aku mas”. Jelas aku penasaran dong dengan itu, “Lho, kenapa bu? bukannya enak jadi pengusaha, duitnya banyak dan harta melimpah?”. Beliau meneruskan ceritanya:

Lha iya bener itu mas, dulu saya itu dalam waktu sekitar 4 bulan bisa bikin 6 rumah mas, tapi kok saya rasakan harta yang begitu banyak itu ndak memberikan saya sebuah ketenangan hidup, uripku kemrungsung mas! Terus hidup saya jadi berantakan, saya pisah dengan bapaknya anak-anak, beberapa tahun kemudian anak kedua saya divonis kanker payudara dan akhirnya meninggal beberapa tahun setelahnya. Dari situ saya seakan tersadar mas, harta yang selama ini saya agung-agungkan ternyata harta yang asalnya ndak berkah, duit-duit yang asalnya dari illegal logginglah, dari komisi-komisi para klien yang fungsinya buat uang pelicin aparat dilapangan lah… Plus gini mas, saya dulu bisa seperti ini karena dulu hidup saya susah, banyak dihina sama orang-orang, dan saya punya ambisi, pokoknya saya mesti kaya dan banyak duit, alhamdulillah terkabul mas, tapi malah seperti itu jadinya, ya gitulah terlalu ambisius masalah harta dunia. Saya g malu menceritakan pengalaman hidup saya ke orang lain, seperti mas ini, ya biar buat pelajaran mas, jangan menjadi orang yang seperti saya…

Ya, aku pikir pengalaman yang sangat menarik dan dilapangan banyak yang punya kehidupan seperti itu. Sekitar jam 15.30, kereta sampai di stasiun Pasar Senen, ya sudah kita berpisah, makasih ya bu udah berbagi pengalaman hidupnya.

Biasanya dari stasiun ke kontrakan aku ngojek, tapi ntah kenapa kali ini pengen naik bus transJ aja, mungkin salah satu alesannya lagi kere, hehehehe…. Sekitar jam 16.30 sampai ke halte terdekat dari kontrakan, Halte TransJ Halimun, kayak biasa jalan kaki dari halte ke kontrakan, setengah perjalanan menuju kontrakan, ada bule ngejar-ngejar aku, “pak… pak… pak…, hmmm sori pak, saya dari Jerman, saya suka kaos Tim Jerman yang kamu pakai, belinya dimana?”. Masih agak sedikit spechless karena capek, aku jawab, di pasar Tanah Abang pak. Dia jawab lagi, “Ohhh ya, saya tahu itu, oke pak, makasih ya…”

Hahahaha, dijalan kayak orang sinting, senyam-senyum sendiri sambil mikir, wohhhh ternyata bener kalo olahraga itu punya sifat mempersatukan, wkkkkkkk

375 km yang hebat, berat perjalanan tapi aku dapat beberapa hal yang sangat menarik:

  1. Kalo saja aku g melanjutkan perjalananku, aku g akan menghubungi teman kuliahku, hmmm bentar-bentar udah punya cowok/suami belum ya dia? hmmmm….. ahhhh ngaco loe! Bersihin tuh otak pake deterjen! :d
  2. Kalo saja aku g melanjutkan perjalananku, aku g akan ketemu sama om & bude yang lama g bersua
  3. Kalo saja aku g melanjutkan perjalananku, aku g akan dapat pengalaman hidup dari seorang ibu mantan pengusaha kayu
  4. Kalo saja aku g melanjutkan perjalananku, aku g akan ketemu sama orang Jerman yang ngejar-ngejar hanya untuk menanyakan lokasi beli kaos jersey tim Jerman

And ciaoooo, grazie….